Menjaga Asa Pasca RHL: Saat Pohon dan Kelembagaan Harus Sama-sama Tumbuh

Menjaga Asa Pasca RHL Saat Pohon dan Kelembagaan Harus Sama-sama Tumbuh - Awal Budiantoro - Yopie Pangkey@
Menanam pohon saja tak cukup, kelembagaan kelompok pasca-RHL harus kuat agar hutan lestari dan ekonomi petani hutan Lampung berkelanjutan. (Foto: Yopie Pangkey)

Urgensi Penguatan Kelembagaan Kelompok Pasca RHL

Setelah ribuan bibit ditanam dan harapan disemai melalui program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), Lampung kini memasuki fase krusial: menjaga keberlanjutan pasca-program.

Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, menyadari bahwa masa depan hutan tidak hanya ditentukan oleh berapa pohon yang hidup, tetapi seberapa kuat akar kelembagaan kelompok masyarakat yang merawatnya.

Read More

Sesuai dengan salah satu misi utamanya, menegaskan pentingnya membangun Lampung yang beradab, berkeadilan, dan berkelanjutan. Visi ini menjadi pijakan bagi berbagai kebijakan strategis, termasuk pengelolaan kawasan hutan dan sumber daya alam.

RHL bukan sekadar program penghijauan. Ia adalah bentuk investasi jangka panjang yang menggabungkan perlindungan ekologis dengan pemberdayaan ekonomi.

Lewat RHL, harapan ditanam bersama: agar tutupan hutan kembali pulih, agar air tanah tak kering, agar erosi bisa dikendalikan, dan agar masyarakat sekitar hutan mendapat manfaat ekonomi dari pohon-pohon yang mereka tanam dan pelihara.

Di Provinsi Lampung, sejak tahun 2020, program RHL partisipatif bertajuk “Merencanakan Panen” telah dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung (BPDAS WASESA), Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Berbeda dengan pendekatan lain yang seragam dan top-down, program ini memberi ruang bagi kelompok masyarakat untuk menentukan jenis tanaman sesuai kearifan lokal dan potensi ekonomi wilayah. Alpukat, pala, kemiri, jengkol, hingga petai menjadi pilihan utama yang adaptif dan bernilai jual tinggi.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah, mengatakan, hasilnya tidak mengecewakan. Evaluasi pada akhir fase pemeliharaan tanaman tahun kedua (P2) mencatat tingkat keberhasilan tanaman hidup di atas 75 persen—angka yang tergolong tinggi dalam sejarah RHL nasional.

Tak hanya itu, kelompok masyarakat mulai merasakan manfaat ekonomi dari hasil panen awal, memperkuat insentif untuk terus menjaga tutupan lahan yang telah mereka pulihkan.

“Gak usah ditanya lagi tanaman RHL hidup atau mati kalau petani sudah menikmati panennya,” ujar Yanyan, berseloroh optimis.

Ungkapan ini bukan hanya candaan optimis, tetapi mencerminkan keyakinan bahwa keberhasilan nyata dapat dilihat dari manfaat ekonomi yang telah dirasakan langsung oleh petani di lapangan.

Namun, euforia keberhasilan teknis tersebut tidak boleh membuat lengah. Program RHL umumnya berlangsung selama tiga tahun, dan setelahnya tanggung jawab pengelolaan diserahkan penuh kepada kelompok masyarakat.

Di sinilah tantangan baru muncul: bagaimana menjaga komitmen dan keberlanjutan setelah pendampingan berakhir?

Fluktuasi Pasar dan Risiko Perubahan Fungsi Lahan

Menjaga Asa Pasca Rehabilitasi Hutan dan Lahan RHL - Saat Pohon dan Kelembagaan Harus Sama-sama Tumbuh - Yopie Pangkey
Salah satu petani hutan di Lampung dengan tanaman pala yang sudah bisa dipanen. (Foto: Yopie Pangkey)

Salah satu ancaman nyata bagi keberlanjutan pasca-RHL adalah fluktuasi harga komoditas. Selama harga alpukat atau pala stabil, semangat untuk memelihara tetap tinggi.

Tetapi ketika panen melimpah dan harga anjlok, muncul godaan untuk mengganti tanaman dengan komoditas musiman yang lebih cepat menghasilkan, meskipun berisiko mengganggu keseimbangan struktur vegetasi yang sudah dibangun.

“Di sinilah pentingnya membangun ketahanan kelembagaan. Kelompok yang lemah dalam organisasi, pencatatan, dan manajemen pasar akan lebih rentan terhadap tekanan ekonomi jangka pendek,” terang Yanyan.

“Tanpa kelembagaan yang kuat, hasil RHL rentan kembali menjadi lahan kosong,” ia menambahkan.

Dalam konteks ini, RHL memerlukan strategi keberlanjutan yang lebih holistik. Tidak cukup hanya menanam dan memelihara tanaman hingga hidup.

“Harus ada penguatan kelembagaan kelompok secara serius agar mereka memiliki daya tahan terhadap dinamika ekonomi yang selalu berubah-ubah,” tegas Yanyan.

Hilirisasi: Dari Buah ke Produk Bernilai Tambah

Menjaga Asa Pasca Rehabilitasi Hutan dan Lahan - Saat Pohon dan Kelembagaan Harus Sama-sama Tumbuh - Yopie Pangkey
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) partisipatif bertajuk “Merencanakan Panen”, dengan menanam pohon MPTS Alpukat. (Foto: Yopie Pangkey)

Salah satu pendekatan strategis untuk memperkuat ketahanan kelompok adalah hilirisasi produk.

Alpukat tidak hanya dijual segar, tapi dapat diolah menjadi tepung, minyak, bahkan bahan kosmetik. Pala berpotensi menghasilkan minyak atsiri, sementara petai dan jengkol bisa dikembangkan sebagai produk kuliner khas Lampung dalam kemasan modern.

Namun, pengolahan membutuhkan lebih dari sekadar niat. Diperlukan pelatihan, modal, akses pasar, dan dukungan lintas sektor. Kolaborasi antara Dinas Kehutanan, KPH, perguruan tinggi, lembaga riset, hingga pelaku usaha yang memiliki jejaring pemasaran menjadi kunci.

Hanya dengan sinergi, kelompok petani hutan bisa naik kelas—dari produsen bahan mentah menjadi pelaku ekonomi berbasis hutan.

Kelembagaan Kuat sebagai Pilar Utama

Kelompok yang mampu menjaga keberlanjutan pasca-RHL bukanlah yang memiliki lahan paling luas, tetapi yang memiliki kelembagaan paling kuat. Kelembagaan yang sehat memungkinkan penyusunan rencana usaha, pembagian peran, pencatatan keuangan, hingga adaptasi terhadap perubahan.

“Kelompok harus punya kapasitas pengetahuan tentang hutan yang kuat. Pengetahuan menjadi fondasi pengambilan keputusan, dari aspek teknis hingga strategi usaha,” tutur Yanyan.

Langkah-langkah penguatan kelembagaan yang dapat dilakukan antara lain:

  • Penyusunan ulang AD/ART agar relevan pasca-RHL,
  • Pelatihan manajemen kelembagaan dan keuangan,
  • Pembentukan koperasi atau unit usaha bersama,
  • Pengenalan sistem pemasaran digital dan literasi pasar,
  • Penyusunan rencana bisnis menengah untuk produk RHL.

Pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan dan KPH berperan sebagai pembina dan penghubung ke sumber daya. Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota dapat memfasilitasi legalitas koperasi dan izin usaha.

Tanpa kelembagaan yang kuat, tanaman hasil RHL rentan terhadap konversi lahan dan hilangnya manfaat jangka panjang.

Tahun 2025: Momentum Konsolidasi dan Penguatan

Tahun 2025 menjadi momentum penting untuk konsolidasi kelembagaan kelompok pasca-RHL. Setelah fase tanam dan pemeliharaan selesai, inilah saatnya memperkuat struktur kelompok, mendampingi lebih dekat, dan menyiapkan keberlanjutan.

Program “Merencanakan Panen” telah membuktikan bahwa masyarakat mampu menjalankan RHL bila diberi ruang dan dukungan teknis. Kini, keberhasilan itu harus ditransformasikan menjadi kesejahteraan jangka panjang.

Hutan tetap lestari, masyarakat tetap sejahtera—itulah esensi RHL yang sejati.

Komitmen Gubernur Rahmat Mirzani Djausal untuk membangun Lampung yang berkelanjutan harus diwujudkan melalui kebijakan yang tidak berhenti pada fase tanam saja.

“Kami di Dinas Kehutanan siap menjalankan kebijakan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dengan membuat program-program yang nyata dan bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” ujar Yanyan.

“Seperti pengolahan hasil hutan bukan kayu, penguatan kelompok tani hutan, dan peningkatan usaha ekonomi warga sekitar hutan,” terangnya.

Baca juga:
* Perhutanan Sosial Jadi Proyek Strategis Nasional, Lampung Perkuat Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan

Hutan dan Harga Diri

Dalam banyak komunitas adat dan masyarakat desa di Lampung, merawat pohon adalah wujud menjaga harga diri. Pohon bukan sekadar komoditas, tetapi simbol tanggung jawab terhadap anak cucu.

Nilai ini pula yang menjadi roh dari program RHL partisipatif. Program ini adalah upaya menanam harapan bersama: bahwa setiap bibit membawa janji kesejahteraan dan keseimbangan ekologi.

“Kini, setelah tiga tahun fase tanam selesai, tantangan sesungguhnya justru dimulai. Pertanyaan utamanya bukan lagi berapa banyak pohon yang hidup? Tapi, seberapa kuat akar kelembagaan yang menopangnya,” kata Yanyan

“Karena hanya dengan kelembagaan yang kokoh, program RHL bisa menjadi warisan berharga bagi hutan, ekonomi lokal, dan martabat masyarakat Lampung,” pungkasnya.

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *