Oleh: Yopie Pangkey
Saya sudah berkali-kali mendatangi kawasan hutan di Lampung. Mulai dari lereng Bukit Barisan di Tanggamus, kaki Gunung Betung di Bandar Lampung, hingga ke desa-desa sekitar kawasan register di Kabupaten Pesawaran.
Di sana, saya tak hanya melihat hamparan pohon atau mendengar nyanyian burung, tetapi juga menyaksikan kerja keras dan keteguhan orang-orang yang menjaga hutan dengan caranya sendiri.
Petani hutan erakhir yang saya temui adalah Fatoni. Seorang petani dari Desa Sinar Harapan di Kedondong, Pesawaran. Rumahnya sederhana, tapi siapa sangka, di halaman rumah itu limbah dapur dan limbah pertanian bisa berubah jadi pupuk berbasis ecoenzim.
Dan dari kebunnya yang berada di lereng, tumbuh kopi yang tidak hanya enak, tapi juga lahir dari tanah yang dijaga dengan penuh cinta.
Fatoni bukan sekadar petani kopi. Ia adalah penggerak. Ia adalah penjaga hutan yang tidak banyak bicara, tapi kerja nyatanya terus bicara.
Ia tak sendiri, tentu.
Tapi justru karena sering turun ke lapangan, saya tahu betul bahwa figur seperti Fatoni tidak banyak. Dan di sinilah kekhawatiran saya mulai tumbuh: setelah Fatoni, siapa yang akan menjaga hutan?
Di Lapangan, Regenerasi Itu Nyaris Tidak Terlihat
Selama beberapa tahun terakhir saya sering berinteraksi dengan kelompok tani hutan. Tidak hanya sekali dua kali saya mendengar keluhan bahwa generasi muda enggan melanjutkan kerja ayah atau kakeknya.
Bahkan di beberapa desa, anak-anak muda memilih kerja serabutan di kota, karena bertani di hutan dianggap tidak menghasilkan apa-apa.
Saya juga menyaksikan sendiri bagaimana sebagian besar anggota kelompok tani adalah orang-orang tua. Wajah mereka penuh semangat, tapi lelah. Ada semacam kekosongan di lapisan bawahnya.
Regenerasi yang tidak terjadi bukan karena mereka tak mau, tapi karena tak tahu caranya.
Lebih menyedihkan, ada orang tua petani yang bahkan mendorong anaknya merantau ke kota besar, bahkan ke luar provinsi, untuk bekerja di sektor informal. Tak sedikit yang meng-amin-kan keputusan anaknya menjadi TKI di luar negeri, karena bertani di kampung dianggap tidak memiliki masa depan.
Di saat petani di luar sana rela menyewa lahan demi bisa menggarap tanah, justru lahan kelola perhutanan sosial yang sudah legal dan berizin ini mulai kehilangan pewarisnya.
Akses Sudah Diberikan, Tapi Siapa yang Akan Melanjutkan?

Kita tahu, izin pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) diberikan dalam jangka waktu tertentu, umumnya 35 tahun, dan bisa diperpanjang. Izin ini diberikan kepada kelompok tani untuk mengelola kawasan hutan negara dengan prinsip kelestarian, pemberdayaan, dan keberlanjutan.
Namun, izin selama 35 tahun itu bukan jaminan jika tidak ada penerus. Tanpa generasi yang melanjutkan, maka akses yang sudah diperjuangkan lewat skema perhutanan sosial itu akan menjadi sia-sia. Tidak optimal dikelola. Tidak tumbuh. Tidak menghasilkan.
Padahal, perhutanan sosial bukan sekadar program. Ia adalah peluang besar penciptaan lapangan kerja—di desa. Potensinya luar biasa: tidak hanya untuk bertani, tapi juga untuk mengembangkan agroforestri, ekowisata, hingga industri kreatif berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Semua bisa dilakukan tanpa harus merantau.
Lebih dari itu, hutan yang dikelola dengan baik adalah sumber pangan, energi, dan air. Jika dijaga dengan benar, maka perhutanan sosial adalah benteng ketahanan ekologi sekaligus ekonomi di tingkat tapak.
Ketika Negara Turun Tangan, Ada Harapan Baru
Saya cukup optimis saat mendengar kabar bahwa Kementerian Kehutanan dan Kementerian Ketenagakerjaan menandatangani MoU untuk mendorong agroforestri sebagai program strategis penciptaan lapangan kerja.
Ini langkah penting. Karena baru kali ini saya lihat perhutanan sosial benar-benar dibicarakan lintas sektor dengan pendekatan yang lebih hidup.
Saya membayangkan, kalau benar akan ada 2 juta hektare lahan dikelola dengan melibatkan 1 juta petani, dan prosesnya melibatkan pelatihan, pendampingan bisnis, hingga akses pasar—maka inilah peluang yang selama ini ditunggu-tunggu.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni bahkan menyebut akan melibatkan Kemensos dan BPS untuk memetakan pusat kemiskinan di kawasan hutan. Artinya, ini bukan soal hutan saja, tapi juga keadilan sosial.
Tapi tentu saya ingin ini tidak berhenti di seremoni MoU. Karena saya tahu betul, kunci keberhasilan bukan hanya di pusat, tapi juga di desa-desa seperti tempat Fatoni tinggal.
Kita Butuh Lebih dari Sekadar Pelatihan
Jika kita serius ingin menyiapkan generasi baru penjaga hutan, maka kita butuh lebih dari pelatihan.
Kita butuh ruang keterlibatan anak muda dalam kelompok tani. Kita butuh mekanisme pewarisan izin perhutanan sosial yang pasti. Kita perlu insentif yang membuat anak muda merasa dihargai, bukan hanya disuruh kerja di kebun tanpa hak suara.
Saya sering berpikir, mengapa tidak dibuat sekolah lapang agroforestri yang dikelola langsung oleh anak muda desa, dengan dukungan mentor seperti Fatoni? Mengapa tidak ada program magang jangka panjang bagi mahasiswa kehutanan, pertanian, atau teknik lingkungan ke kawasan-kawasan perhutanan sosial?
Bukankah regenerasi itu juga soal membuka ruang dan memberi kepercayaan?
Kita juga harus akui, kadang kita sendiri yang membatasi anak muda. Kita minta mereka peduli lingkungan, tapi kita tidak pernah beri mereka kesempatan mengambil peran. Padahal mereka justru bisa membawa inovasi: teknologi, pemasaran digital, hingga Good Agroculture Practice (GAP) yang lebih efisien.
Baca juga:
* Hadapi EUDR, Lampung Genjot Percepatan Penerbitan E-STDB bagi Petani Agroforestri
Menjaga Hutan Adalah Kerja Panjang, Lintas Generasi, dan Lintas Sektor
Fatoni sudah membuktikan bahwa menjaga hutan bisa dilakukan sambil hidup layak, bahkan sambil menanam kopi yang enak. Tapi ia tidak bisa sendiri.
Dan saya percaya, di luar sana masih banyak anak muda yang punya hati untuk menjaga hutan. Mereka hanya butuh pintu yang dibuka dan tangan yang mengajak.
Kalau kita gagal menyiapkan penerus, maka skema perhutanan sosial hanya akan jadi episode singkat dalam sejarah pengelolaan hutan Indonesia. Kita bisa kehilangan hutan. Tapi lebih dari itu, kita bisa kehilangan semangat gotong royong yang dibangun oleh orang-orang seperti Fatoni.
Saya menulis ini bukan karena saya pesimis, justru karena saya masih percaya.
Tapi kita semua harus menyadari, waktu tidak menunggu. Fatoni dan generasinya akan menua. Maka, setelah Fatoni, siapa yang akan menjaga hutan?
Jawabannya tergantung kita semua hari ini.
—
Tentang Penulis: Yopie Pangkey adalah pengamat perhutanan sosial di Lampung dan direktur PT Cita Avontur Indonesia, penyedia jasa wisata Responsible Tourism.
Saya anak perhutanan sosial. Tulisan ini perlu ditembakkan kedalam tubuh pemerintahan.
Bahkan, kesannya, perhutanan sosial bahkan seperti tidak memiliki konsep perencanaan. Hanya sebatas pendataan penguasaan kawasan hutan.