Oleh: Yopie Pangkey
Sebagai travel blogger yang sering keluar masuk desa-desa di Lampung, saya tak hanya mencari pemandangan indah, tapi juga bertemu dan banyak mengobrol dengan petani-petani hebat yang menyimpan cerita, harapan, dan keresahan.
Selama lebih dari dua dekade, saya melihat persawahan dan ladang-ladang kopi yang hijau, petani-petani yang masih semangat di usia senja, dan anak-anak muda yang memilih pergi ke kota. Dan dari semua itu, saya belajar bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal hasil panen. Ini soal manusianya.
Saya juga akhirnya tahu bahwa pertanian bergantung pada tiga unsur utama yang tak bisa dipisahkan: Lahan, sarana produksi (saprodi), dan tenaga kerja. Jika salah satu pincang, maka seluruh sistem bisa runtuh.
Kita sering membahas soal lahan dan saprodi—subsidi pupuk, benih, irigasi. Tapi bagaimana dengan tenaga kerja? Siapa yang akan mengolah sawah dan kebun kita 10 atau 20 tahun ke depan? Ini sering terabaikan?
Petani Kita Menua, Anak Muda Tak Kembali

Saya pernah duduk di pondok kayu bersama para petani palawija di Pesawaran. Hampir semuanya sudah berumur di atas 50 tahun. Mereka masih kuat, masih giat. Tapi satu hal yang mereka tahu: waktu tak bisa dilawan.
“Anak saya kerja di Jogja, Mas. Bulan lalu baru menikah.” kata seorang petani. “Katanya bertani terlalu berat dan penghasilannya tak menentu. Dia memilih berkarir di perusahaan ritel di sana.”
Data dari BPS membenarkan cerita itu: hanya 21,93% petani Indonesia berusia 19–39 tahun. Itu berarti, mayoritas petani kita sudah menua.
Petani Muda Tidak Hilang, Mereka Hanya Belum Diberi Ruang
Yang menarik, saya juga melihat geliat kecil dari anak muda yang ingin terlibat. Ada yang mulai tanam ubi-ubian, sayuran, kopi hutan, ternak ayam kampung, ternak kambing, atau membuat pupuk organik. Tapi hampir semuanya bilang hal yang sama: susah cari dukungan, susah dapat kepercayaan.
Swasembada pangan tidak akan lahir dari sekadar perluasan lahan atau subsidi pupuk. Ia harus dimulai dari keberanian sistem memberi ruang bagi generasi baru untuk mengambil peran.
Kalau terus dikerjakan oleh petani yang sama, dengan usia yang semakin tua, maka kita sedang membangun pertahanan pangan di atas pondasi yang rapuh.
Agroforestri dan Perhutanan Sosial: Harapan Regenerasi
Agroforestri bisa menjadi jalan tengah. Ia bukan hanya bicara soal hasil tani, tapi juga tentang menjaga ekosistem dan membuka akses lahan bagi rakyat. Di sinilah saya melihat celah harapan.
Di Desa Sinar Harapan, saya bertemu Fatoni, petani kopi yang juga penggerak kelompok tani hutan. Ia membuat pupuk dari limbah dapur dan limbah pertanian, merawat pohon, dan mengajak warga mengurangi penggunaan pupuk kimia.
Tapi Fatoni juga menua. Dan seperti banyak petani lainnya, ia belum punya jawaban pasti siapa yang akan menggantikan perannya.
Kolaborasi terbaru antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Ketenagakerjaan membuka peluang baru: pelatihan agroforestri untuk 1 juta petani, pemetaan lahan 2 juta hektare. Tapi pertanyaannya: berapa banyak dari mereka nanti yang anak muda?
BLK dan SMK Pertanian: Harapan yang Perlu Diperbarui
Lampung punya Balai Latihan Kerja (BLK) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian. Tapi pertanyaannya: apakah lulusan mereka siap menjadi petani?
Apakah mereka belajar membuat pupuk organik dari limbah pasar? Merancang solar dryer dome? Menyambung tanaman kakao? Membangun kandang komunal? Membuat pupuk cair organik?
Sayangnya, banyak di antaranya belum. Kurikulum yang diajarkan kadang masih terlalu teknis, tidak adaptif terhadap tantangan zaman, dan kurang mengajarkan aspek wirausaha tani.
Sementara anak muda kini ingin menjadi lebih dari sekadar “tukang tanam”—mereka ingin jadi wirausaha pertanian yang mandiri dan diakui.
BLK dan SMK pertanian harus direformasi. Mereka harus menjadi pusat regenerasi, tempat membentuk petani muda yang tidak hanya bisa menanam, tapi juga mengelola bisnis pertanian dari hulu ke hilir.
Dukungan untuk Lampung: Komitmen Pemerintah Nyata
Komitmen reformasi ini juga sudah mulai terasa di Lampung. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan, menyampaikan dukungan penuh kepada Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal untuk memperkuat pelatihan vokasi di provinsi ini.
Wamenaker Immanuel menargetkan minimal 10 ribu anak muda Lampung, terutama dari pedesaan, mengikuti program vokasi setiap tahunnya.
Ia menegaskan bahwa kolaborasi lintas pihak sangat penting dalam mewujudkan target itu.
Menurut Wamenaker Immanuel, kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sektor swasta sangat krusial. Karena akan memastikan anak-anak muda Lampung mendapatkan akses pelatihan kerja yang berkualitas, agar mampu bersaing di dunia kerja.
Jika diarahkan dengan tepat, program vokasi ini dapat menyasar sektor pertanian, peternakan, hingga agroindustri berbasis desa. Maka regenerasi petani bukan hanya mungkin, tapi bisa menjadi kebijakan nyata.
Peran BPP: Penyuluh yang Tak Sekadar Bicara di Ruang Kantor
Selain BLK dan SMK, satu elemen penting yang mungkin kita lupakan adalah Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Di Lampung, saya pernah bertemu dengan penyuluh dari BPP yang bekerja senyap namun punya pengaruh besar.
Saya ingat ketika mengunjungi kelompok tani di sebuah desa di Pesawaran. Penyuluh BPP yang hadir bukan sekadar memberi instruksi, tapi langsung turun tangan: tangannya mengaduk bahan pupuk cair organik, menguji pH tanah, hingga memberi saran pemupukan berimbang untuk tanaman.
Penyuluh seperti inilah yang dibutuhkan. Mereka bukan sekadar penghubung program pemerintah, tapi mentor yang membuat petani muda merasa ditemani, bukan ditinggalkan.
BPP bisa menjadi ujung tombak pendampingan regenerasi petani—terutama jika terhubung dengan BLK dan SMK pertanian di wilayah mereka.
Kolaborasi Lintas Sektor: Swasembada Pangan dan Gerakan Regenerasi Butuh Banyak Tangan
Fokus pada reformasi BLK dan peningkatan jumlah siswa SMK pertanian juga membuka peluang kolaborasi lintas sektor yang konkret.
Di tingkat nasional bisa kolaborasi antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sedangkan di daerah, Pemerintah Provinsi Bersama Pemerintah Kabupaten, bisa kuatkan kolaborasi melalui Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dias Kehutanan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Pendidikan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan akademisi.
Kalau semua ini disinergikan, maka kita tidak hanya mencetak petani muda yang terampil, tapi juga membangun ekosistem regenerasi yang hidup.
Lampung, dengan luas wilayah dan sejarah pertaniannya, bisa menjadi provinsi percontohan. Kita punya jaringan pendidikan, punya penyuluh, dan punya petani yang siap berbagi ilmu.
Baca juga:
* Generasi Muda Memimpin Lampung: Harapan yang Sedang Menjadi Kenyataan
Penutup: Swasembada Butuh Manusia dan Butuh Sekolah yang Hidup
Perjalanan saya dari dusun ke dusun mengajarkan satu hal: pangan tidak tumbuh di pasar. Ia tumbuh di ladang. Ditumbuhkan oleh tangan-tangan yang tak boleh habis.
Jika kita ingin swasembada, maka kita harus mulai dari manusia. Dari petani muda yang dilatih, didampingi, dan diberi ruang.
Karena tanpa regenerasi, semua yang kita bangun akan runtuh saat generasi terakhir kita berhenti mencangkul.
—
Tentang Penulis
Yopie Pangkey adalah travel blogger dan pengamat lingkungan di Lampung. Ia aktif mendokumentasikan kehidupan desa, ekowisata, dan inisiatif warga dalam menjaga hutan dan pangan lokal.