Oleh: Timbul Priyadi
Praktisi Hukum, Ketua KSR PMI Unit Universitas Lampung periode 1993–1994
Di saat semangat pengabdian kemanusiaan terus digelorakan, tersiar kabar yang menimbulkan riak perdebatan: Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana, disebut-sebut terpilih sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandar Lampung periode 2025–2030 dalam Musyawarah Kota ke-IX yang digelar di Gedung PKK (Kamis, 18/9/2025). Namun hingga kini, publik masih menunggu kepastian resmi dari PMI mengenai kabar tersebut.
Bagi sebagian orang, rangkap jabatan ini dianggap strategis. Kepala daerah yang sekaligus memimpin PMI dinilai dapat mengalirkan dukungan kebijakan maupun sumber daya. Tetapi bagi banyak pihak lain, justru di situlah letak persoalan. Jabatan ganda ini rawan menyalahi prinsip luhur PMI: independensi, netralitas, serta kebebasan dari campur tangan politik.
Pertanyaan pun mengemuka: apakah langkah rangkap jabatan benar-benar menguatkan gerakan kemanusiaan, atau justru mengaburkan amanah luhur yang harus dijaga?
Independensi yang Tergores
PMI bukan sekadar organisasi sosial biasa. Ia berdiri di atas tujuh prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, salah satunya adalah independensi (Statuta Palang Merah Internasional, 1986). Prinsip ini menegaskan bahwa gerakan kemanusiaan wajib tegak netral, tak berpihak, dan bebas dari intervensi kekuasaan.
Ketika seorang Walikota merangkap memimpin PMI, garis batas antara misi kemanusiaan dan kepentingan politik menjadi kabur. Keputusan kemanusiaan bisa saja terseret ke logika elektoral atau pertimbangan anggaran daerah. Bila kemandirian ini runtuh, maka kepercayaan publik terhadap PMI sebagai garda kemanusiaan yang netral pun bisa tercederai.
Kekuasaan yang Menumpuk, Beban Amanah yang Bertambah
Seorang Walikota telah mengemban beban besar: mengatur birokrasi, memimpin pembangunan, dan mengelola anggaran daerah. Jika jabatan itu ditambah dengan kursi Ketua PMI, konsentrasi kekuasaan makin terakumulasi pada satu sosok.
Tak heran Lord Acton pernah berpesan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Selain itu, mustahil membayangkan seorang kepala daerah yang disibukkan politik dan administrasi, tetap bisa optimal mengawal organisasi kemanusiaan yang menuntut dedikasi penuh. Risikonya jelas: pelayanan PMI bisa menurun, dan masyarakatlah yang akhirnya menanggung akibatnya.
Bayangan Konflik Hibah dan Lemahnya Pengawasan
Rangkap jabatan juga membuka ruang konflik kepentingan. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri No. 77 Tahun 2020, dana hibah dari APBD wajib dikelola secara transparan dan akuntabel.
Namun, jika Walikota sekaligus menjabat Ketua PMI, maka ia berada di posisi sebagai pemberi sekaligus penerima hibah. Dalam logika sederhana, bagaimana mungkin pengawasan berjalan efektif? Mekanisme check and balance berisiko tumpul. Publik pun tak lagi yakin dana hibah sepenuhnya digunakan untuk kemanusiaan.
Menabrak Aturan Rumah Sendiri
Rangkap jabatan tidak sekadar soal etika, tapi juga berpotensi melanggar aturan internal PMI. Anggaran Dasar PMI Bab IV Pasal 14 ayat (3) jelas melarang pengurus merangkap sebagai pejabat pemerintah, pejabat negara, maupun pengurus partai politik.
Bila konstitusi organisasi saja diabaikan, bagaimana PMI bisa menuntut legitimasi moral dari masyarakat?
Cermin dari Kasus Pati
Pelajaran bisa dipetik dari Kabupaten Pati. Haryanto, Bupati Pati 2017–2022, juga merangkap Ketua PMI Kabupaten Pati (2020–2025). Posisinya yang ganda menuai kritik, karena sebagai Bupati otomatis ia Pelindung PMI, sekaligus Ketua PMI.
Dr. Torang Manurung, akademisi hukum Universitas Safin Pati, menilai jabatan ganda itu melanggar Pasal 21 AD/ART PMI yang melarang Pelindung duduk di kepengurusan. Akibatnya, laporan kegiatan dan anggaran PMI berputar kembali ke tangan orang yang sama. Itu adalah bentuk nyata conflict of interest.
Dr. Torang menegaskan, pelanggaran tersebut dapat membuat status kepengurusan cacat hukum dan kebijakan yang diambil tidak sah. Ia bahkan mendorong diadakan musyawarah luar biasa untuk memilih ketua baru, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 82 AD/ART PMI.
Kasus Pati menunjukkan, rangkap jabatan bukanlah sekadar persoalan teoritis, melainkan nyata menurunkan wibawa organisasi dan meruntuhkan kepercayaan publik.
Praktik Dunia: Netral dan Profesional
Di panggung internasional, standar kepemimpinan palang merah jauh lebih ketat. American Red Cross, Swiss Red Cross, German Red Cross, menegaskan kursi puncak tak boleh diisi pejabat politik aktif.
Kepemimpinan dipercayakan pada figur profesional dari luar lingkaran kekuasaan, demi menjaga netralitas, menghindari benturan kepentingan, dan memastikan pelayanan kemanusiaan tetap murni. Jika dunia bisa, mengapa PMI di negeri ini tak mampu menegakkannya?
Baca juga:
* Cinta Nabi Taat Syariat: Momentum Meneladan Rasulullah SAW di Tengah Krisis Kepemimpinan
Saatnya Bijak Memilih Amanah
Polemik ini seharusnya menjadi ruang refleksi, baik bagi kepala daerah Kota Bandarlampung maupun kepala daerah lain yang menghadapi dilema serupa. Kepemimpinan sejati bukan hanya perkara jabatan, melainkan keberanian memilih jalan yang benar.
Melepaskan kursi Ketua PMI bukan berarti menanggalkan peran kemanusiaan seorang Walikota. Justru sebaliknya, langkah itu akan meneguhkan independensi PMI, menjaga kehormatan organisasi, dan menunjukkan komitmen bahwa amanah publik tidak patut ditumpuk dalam satu genggaman.
Dengan begitu, amanah kemanusiaan dan amanah politik dapat berjalan berdampingan, tanpa saling mengorbankan. (*)
Referensi:
- Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, 1986.
- Anggaran Dasar PMI (Hasil Musyawarah Nasional PMI XXI Tahun 2019).
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
- Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan UU Kepalangmerahan.
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
- Liputan media terkait polemik rangkap jabatan PMI di Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Pati (2017–2022)