Limbah Jadi Harapan: Eco-Enzyme dan Ketahanan Pangan dari Desa Sinar Harapan, Pesawaran

Limbah Jadi Harapan - Eco-Enzyme dan Ketahanan Pangan dari Sinar Harapan Pesawaran - Dr Analianasari Polinela
Dr. Analianasari, S.T.P., M.T.A. (dua dari kiri) bersama ibu-ibu Kelompok Tani Hutan (KTH) Agroforetry Lestari, Desa Sinar Harapan, Kedondong. (Foto: Yopie Pangkey)

Tahukah Anda bahwa Indonesia menghasilkan puluhan juta ton sampah organik setiap tahunnya? Sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), melepaskan gas metana dan zat beracun yang merusak lingkungan sekitar.

Tapi di balik aroma kopi dan riuh lesung yang bertalu di sebuah desa kecil di Kabupaten Pesawaran, tumpukan limbah itu justru berubah menjadi harapan.

Read More

Di Desa Sinar Harapan, Kecamatan Kedondong, limbah dapur bukan sekadar sampah. Di tangan para petani dan ibu rumah tangga, kulit buah, sisa sayuran, hingga kulit kopi tak lagi dibuang begitu saja.

Mereka fermentasi. Mereka olah. Mereka jadikan pupuk, sabun, disinfektan, bahkan minuman herbal.

Di sinilah perubahan itu bermula—pelan, sunyi, namun berdampak. Sebuah kolaborasi antara petani hutan, akademisi, dan alam. Sebuah jawaban lokal atas krisis global.

Dari Kopi ke Kaskara: Inovasi Pascapanen yang Menggugah

Dr. Analianasari, S.T.P., M.T.A., dosen Prodi Magister Terapan Ketahanan Pangan Politeknik Negeri Lampung (Polinela), melihat potensi besar di desa ini, terutama dalam pengolahan kopi.

Berbeda dari kebiasaan umum yang hanya menjemur biji kopi secara langsung (natural process), para petani di sini mengadopsi teknik honey process, bahkan jenis honey soso.

Meski menggunakan alat-alat konvensional seperti lesung, rasa kopi yang dihasilkan lebih ringan, fruity, dan memiliki aftertaste yang menyenangkan.

“Uniknya, penggunaan lesung justru memberikan karakter rasa kopi yang baik,” kata Analianasari di Desa Sinar Harapan, Sabtu (26/07/2025).

“Dan dari situ, kami coba manfaatkan kulit kopi keringnya menjadi kaskara—infus herbal yang kini semakin populer,” tambahnya.

Tak berhenti di situ, mereka mencoba menggabungkan kaskara dengan kulit pala, mengingat potensi tanaman pala yang besar di kawasan ini. Hasilnya: minuman herbal lokal yang enak, hangat, dan berpotensi menjadi produk unggulan desa.

Produk Turunan Eco-Enzyme: Lebih dari Sekadar Pupuk

Selain kopi, inovasi lain yang berkembang pesat di Sinar Harapan adalah pembuatan dan pemanfaatan ekoenzim.

Selama ini, larutan fermentasi ini dikenal sebagai pupuk organik cair (POC). Namun Analianasari menekankan, manfaatnya jauh lebih luas.

Eco-enzyme bisa dikembangkan menjadi sabun alami, disinfektan, sanitizer, bahkan pembersih peralatan dapur atau pengolahan pangan.

“Ini semua adalah bagian dari ekonomi sirkular. Limbah tidak berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), tapi kembali ke tanah dan menjadi bagian dari siklus pangan,” jelasnya.

Bagaimana Eco-Enzyme Dibuat?

Eco-enzyme dibuat dari kulit buah dan sayuran yang difermentasi dengan gula (molase/gula merah) dan air dalam rasio tertentu.

Semua bahan dimasukkan dalam wadah tertutup dan dibiarkan selama minimal 3 bulan.

Hasil fermentasi inilah yang menghasilkan larutan kaya enzim dan asam organik, berguna untuk pertanian, kebersihan rumah tangga, hingga pengolahan pangan.

Ketahanan Pangan Dimulai dari Pekarangan

Menurut Analianasari, eco-enzyme sangat strategis untuk ketahanan pangan berbasis keluarga. Dengan memanfaatkan pupuk organik cair dari eco-enzyme, warga bisa menanam sayuran seperti cabai, tomat, kangkung, atau bayam di pekarangan rumah.

“Dari dapur ke pekarangan, lalu kembali ke dapur. Inilah siklus pangan keluarga yang sehat dan mandiri,” tuturnya.

Ia menambahkan, pemanfaatan eco-enzyme juga bisa membantu mengurangi pengeluaran rumah tangga, sekaligus menjaga lingkungan sekitar. Tak hanya pertanian, larutan ini bisa menggantikan bahan kimia pembersih di rumah.

Petani Ingin Maju, Kampus Turut Mengabdi

Limbah Jadi Harapan - Eco-Enzyme dan Ketahanan Pangan dari Sinar Harapan Pesawaran - Dr Analianasari Polinela 2
(Foto: Yopie Pangkey)

Analianasari mengaku kagum pada semangat para petani di Kelompok Tani Hutan Agroforestri Lestari.

“Dari pagi sampai sore, mereka tetap antusias belajar. Ini menunjukkan bahwa mereka ingin maju. Dan semangat mereka membuat kami juga semangat mengabdi,” ujarnya.

Ia juga menilai, dukungan pemerintah dan stakeholder lain sangat penting agar inovasi-inovasi lokal ini berkembang maksimal.

“Majunya petani akan lebih kuat jika didukung oleh pemerintah dan lembaga lain. Ini kerja bersama,” tegas Analianasari.

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, khususnya KPH Pesawaran, ia sebut sangat mendukung kegiatan-kegiatan berbasis sumber daya lokal seperti ini, terutama dalam konteks peningkatan ketahanan pangan desa.

Langkah Berikutnya: Kakao dan Pala Pascapanen

Setelah sukses dengan kopi dan eco-enzyme, Analianasari menyebut potensi berikutnya adalah pengolahan pascapanen kakao dan pala.

Menurutnya, hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti ini bisa dikembangkan menjadi produk turunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi—baik sebagai makanan, minuman, maupun bahan dasar produk organik.

Polinela bersama KTH bisa eksplorasi fermentasi pala, sabun dari kulit kakao, atau kombinasi lainnya.

“Ini semua bisa menjadi produk unggulan KTH Agroforestri Lestari,” tutupnya dengan semangat.

Baca juga:
* Petani Agroforestri Kedondong Pesawaran Belajar Bikin Pupuk Ecoenzim, Kolaborasi Jaga Hutan dan Tingkatkan Kualitas Kopi

Suara Kecil dari KTH di Desa yang Menumbuhkan Harapan

Kegiatan ini mungkin kecil. Tapi dari dapur rumah petani hutan di lereng Gunung Pesawaran, suara perubahan itu mulai terdengar.

Dari kulit kopi, sisa buah-buahan, dan sisa sayuran, kini tumbuh harapan baru—tentang pangan yang berdaulat, hutan yang lestari, dan masa depan yang ditanam bersama dari rumah-rumah kecil di pinggiran hutan.

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *