Menimbang Ratifikasi FCTC untuk Indonesia

Menimbang Ratifikasi FCTC untuk Indonesia - Mahendra Utama
Pemerhati Pembangunan, Mahendra Utama. (Foto arsip pribadi)

Perdebatan soal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) bukan lagi wacana baru di Indonesia. Hampir dua dekade sejak konvensi WHO ini lahir pada 2003, Indonesia tetap bertahan sebagai satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi.

Posisi ini bukan tanpa alasan di baliknya ada tarikan kepentingan yang sama-sama mendesak, sama-sama riil, dan sama-sama menyangkut jutaan nyawa.

Read More

Mari kita mulai dari fakta kesehatan.

Data Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan: lebih dari sembilan persen anak di Indonesia adalah perokok aktif tertinggi di Asia Tenggara. Ini bukan statistik abstrak.

Ini berarti ada ratusan ribu anak yang mulai merokok sebelum mereka bahkan menyelesaikan pendidikan dasar.

Iklan rokok masih mudah ditemukan di berbagai media, sponsorship event olahraga dan musik terus berjalan, dan akses pembelian rokok bagi anak praktis tanpa hambatan berarti.

FCTC menawarkan kerangka regulasi yang telah terbukti efektif di 182 negara: pembatasan ketat iklan dan promosi, pelarangan penjualan kepada anak, peningkatan cukai, kampanye edukasi bahaya rokok, hingga dukungan bagi perokok yang ingin berhenti.

Hasilnya terukur: penurunan prevalensi merokok, pengurangan beban penyakit tidak menular seperti kanker dan penyakit jantung, serta penghematan signifikan dalam biaya kesehatan nasional.

Dari sudut pandang kesehatan publik, argumen untuk meratifikasi FCTC sangat kuat.

Namun, Indonesia bukan negara biasa dalam peta industri tembakau global.

Lebih dari lima juta orang bergantung langsung pada industri ini petani tembakau yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara; buruh pabrik rokok di Kudus, Malang, dan Kediri; pedagang cengkih di Maluku dan Sulawesi.

Ini belum termasuk puluhan juta lainnya yang terlibat dalam rantai distribusi dan perdagangan tembakau.

Kretek bukan sekadar produk ekonomi. Ini adalah warisan industri yang telah berakar sejak abad ke-19, menjadi bagian dari sejarah ekonomi nasional, dan bagi banyak daerah menjadi tulang punggung perekonomian lokal.

Pabrik-pabrik rokok lokal di kota-kota kecil sering menjadi pemberi kerja terbesar di daerahnya.

Kekhawatiran akan dampak ratifikasi FCTC terhadap sektor ini bukan isapan jempol. Regulasi yang ketat berpotensi menekan industri kretek lokal yang umumnya bermodal terbatas, sementara perusahaan rokok multinasional dengan produk rokok putih dan modal besar lebih siap beradaptasi.

Tanpa skema transisi dan perlindungan yang jelas, ribuan usaha kecil-menengah bisa terancam, dan jutaan pekerja kehilangan mata pencaharian.

Di sinilah kita terjebak dalam dilema klasik kebijakan publik: bagaimana melindungi kesehatan generasi mendatang tanpa mengorbankan penghidupan generasi sekarang?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan pilihan hitam-putih.

Menolak FCTC sepenuhnya berarti mengabaikan krisis kesehatan publik yang terus memburuk.

Meratifikasi FCTC tanpa persiapan matang berarti mempertaruhkan nasib jutaan pekerja dan kelangsungan industri lokal.

Yang Indonesia butuhkan adalah pendekatan yang lebih nuansir sebuah strategi yang mengintegrasikan komitmen kesehatan publik dengan perlindungan sosial-ekonomi.

Beberapa negara telah menunjukkan bahwa kedua hal ini bisa berjalan beriringan:

Thailand berhasil menurunkan prevalensi merokok drastis sambil mengembangkan program diversifikasi ekonomi bagi petani tembakau. Vietnam meratifikasi FCTC sambil memberikan insentif bagi industri lokal untuk beradaptasi.

Indonesia bisa belajar dari pengalaman tersebut.

Ratifikasi bisa dilakukan dengan roadmap yang jelas: pemberian waktu transisi yang cukup, program pelatihan dan diversifikasi usaha bagi petani dan buruh tembakau, insentif bagi inovasi produk tembakau yang lebih aman, serta perlindungan khusus bagi industri kretek sebagai warisan budaya.

Pepatah mengatakan, “Satu rasa, satu langkah” . Kesehatan dan kesejahteraan tidak harus dipertentangkan. Keduanya adalah bagian dari kewajiban negara terhadap rakyatnya.

Pertanyaan sebenarnya bukan “apakah” Indonesia harus meratifikasi FCTC, melainkan “bagaimana” Indonesia meratifikasi FCTC dengan cara yang adil, bertanggung jawab, dan mempertimbangkan realitas sosial-ekonomi kita.

Baca juga:
* Menyelamatkan Warisan Tembakau Jember

Dengan perencanaan yang matang dan political will yang kuat, kita bisa melindungi anak-anak dari bahaya rokok sekaligus menjaga penghidupan jutaan keluarga yang bergantung pada industri tembakau.

Bangsa yang dewasa adalah bangsa yang mampu membuat pilihan sulit dengan bijaksana tidak menghindar dari tanggung jawab kesehatan publik, tapi juga tidak meninggalkan rakyatnya sendiri dalam transisi ekonomi yang tak terencana.

Saatnya Indonesia menemukan jalan tengah yang bermartabat.

*Oleh: Mahendra Utama – Pemerhati Pembangunan

#FCTCIndonesia #KedaulatanKretek #KesehatanPublik #WarisanBudaya #MahendraUtama

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *