Monitoring IAD: Petani Hutan Pesawaran Harus Naik Kelas Lewat Agroforestri

Monitoring Integrated Area Development IAD - Petani Hutan Pesawaran Harus Naik Kelas Lewat Agroforestri - Yopie Pangkey
Tim Peneliti Unila bersama petani hutan Pesawaran di kegiatan Monitoring IAD Pesawaran, Selasa (8/7/2025). (Foto: Yopie Pangkey)

Tim Peneliti Universitas Lampung (Unila) melaksanakan kegiatan monitoring terhadap penerapan konsep Integrated Area Development (IAD) pada lahan agroforestri masyarakat di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Pesawaran. Kegiatan ini digelar di Kantor Desa Banjaran, Kecamatan Way Ratai, Kabupaten Pesawaran, Selasa (8/7/2025).

Kegiatan monitoring dihadiri oleh perwakilan dari tiga kelompok tani hutan (KTH) yang menjadi bagian dari skema perhutanan sosial berbasis IAD.

Read More

Juga didampingi oleh anggota tim monitoring; Dr. Pitojo Sudiono, M.Si.; serta UPTD KPH Pesawaran Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.

Tiga lokasi yang terlibat dalam monitoring ini meliputi:

  • KTH Catur Manunggal Jaya, Desa Maja, Marga Punduh – 318 hektare, 158 kepala keluarga.
  • KTH Sumber Rejeki, Desa Maja, Marga Punduh – 89 hektare, 69 kepala keluarga.
  • Gapoktanhut Pujo Makmur, Desa Way Urang, Padang Cermin – 534 hektare, 247 kepala keluarga.

Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P., yang juga memimpin Tim Pengembangan IAD Kabupaten Pesawaran. Dalam kegiatan ini, tim melakukan evaluasi terhadap dampak sosial, ekonomi, dan ekologi dari penerapan IAD.

Prof. Christine menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi langkah awal untuk memastikan apakah pendekatan IAD benar-benar memberikan manfaat konkret di lapangan.

“Kami ingin melihat sejauh mana penerapan IAD ini berdampak nyata bagi peningkatan pendapatan, penguatan kelembagaan masyarakat, dan tetap menjaga kelestarian ekologi,” ujarnya.

Kolaborasi dan Komitmen Berkelanjutan

Sebagai bentuk komitmen jangka panjang, Universitas Lampung telah membentuk Tim Pengembangan IAD Kabupaten Pesawaran yang akan melakukan pendampingan berkelanjutan bagi petani hutan dan pemangku kepentingan lainnya.

Konsep IAD sangat relevan karena masyarakat di kawasan perhutanan sosial umumnya menggantungkan penghasilan dari agroforestri.

“Ada pola tanam sederhana hingga kompleks. Tapi semua pada dasarnya bertumpu pada pemanfaatan hutan secara lestari dan produktif. Tantangannya adalah bagaimana semua aspek ini berjalan seimbang: ekologi, sosial, dan ekonomi,” katanya.

Prof. Christine menambahkan, IAD di Kabupaten Pesawaran secara formal sudah berlangsung dua tahun, namun aplikasinya baru enam bulan.

“Dari hasil monitoring nanti, kita bisa lihat apa saja yang harus dipersiapkan oleh Kabupaten Pesawaran dengan kondisi saat ini,” kata Prof. Christine.

“Kita lihat apa kesenjangan dalam 2 tahun ini, dan apa yang harus dipersiapkan untuk lima tahun kedepan,” imbuhnya.

Menghadapi Regulasi Pasar Global

Prof. Christine juga menyampaikan bahwa wilayah Pesawaran tengah disiapkan menghadapi regulasi lingkungan internasional, khususnya European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang mengharuskan hasil pertanian dan kehutanan bebas dari deforestasi.

“Masyarakat mulai sadar bahwa standar global harus dipenuhi. Itu sebabnya, bersama-sama kita latih mereka sejak sekarang melalui pendekatan IAD,” katanya.

Selaras dengan Arah Kebijakan Nasional

Monitoring dan pendampingan ini sejalan dengan Perpres No. 28 Tahun 2023 tentang Percepatan Perhutanan Sosial, yang mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat secara kolaboratif dan berkelanjutan.

“Program IAD ini bukan hanya milik Kementerian Kehutanan, tapi juga harus didukung sektor perdagangan, pertanian, dan pemerintah daerah. Semua harus bersinergi,” tegas Prof. Christine.

Petani Mulai Rasakan Manfaat

Salah satu manfaat nyata dari pendekatan IAD adalah terbukanya akses pasar bagi produk agroforestri masyarakat.

Maryadi, Ketua Gapoktanhut Pujo Makmur, mengungkapkan bahwa sebelumnya petani hanya menjual biji kemiri polong. Namun kini, mereka sudah bisa memproduksi minyak kemiri sesuai permintaan pembeli.

“Kalau dulu, dari 1 kilogram kemiri polong kami hanya dapat Rp8.000. Sekarang setelah jadi minyak bisa mendapatkan Rp12.000. Kami senang karena ini menambah nilai jual,” ujar Maryadi.

Ia juga menyatakan bahwa kegiatan monitoring ini memberi ruang dialog agar petani tahu langkah apa yang selanjutnya bisa diterapkan di hutan yang mereka kelola.

“Kami ingin tahu bagaimana IAD bisa berdampak positif untuk sosial, ekonomi, dan lingkungan kami. Harapan kami setelah ini ada arahan yang jelas dan kami bisa lebih siap,” tambahnya.

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *