Di pagi hari yang tenang di kaki Gunung Tanggang, suara alam terdengar seperti orkestra alami.
Desir angin menerpa pucuk daun dengkeh dan daun pala, sayup-sayup suara siamang menyapa dari kejauhan. Sesekali terdengar kicau burung dan derit serangga.
Lanskap hijau menyelimuti mata sejauh memandang, menghadirkan ketenangan yang tak bisa dibeli di kota.
Di tengah pemandangan itu, seorang pria sedang berjalan menyusuri dempot agroforetri yang diisi tanaman cengkeh, pala, alpukat, durian, dan aneka tanaman lainnya.
Namanya Muamar Leonardo. Ia bukan sekadar petani biasa. Ia lulusan pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memilih kembali ke kampung halamannya, Dusun Panglon, Desa Batu Raja, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
“Ayo, kita ngobrol di atas, di demplot agroforestri KTH kami,” ajaknya ramah.
Antara Kota dan Kampung: Sebuah Pilihan
Sebagai sarjana S2 Teknologi Hasil Perkebunan, dengan gelar yang bisa membuka banyak pintu karier di kota besar, pilihan Leonardo untuk pulang kampung dianggap langkah yang tidak umum bagi kebanyakan orang.
Namun, bagi pria kelahiran 29 November 1984 itu, keputusan ini lebih dari sekadar pilihan rasional—ini adalah panggilan hati.
Leonardo, anak laki-laki satu-satunya. Ibunya sudah tua, dan dua adik perempuannya masih butuh dampingan.
Tapi lebih dari itu, dia merasa pertanian di desa ini makin ditinggalkan. Anak-anak muda tak lagi melihat kebun sebagai masa depan. Itu yang mendorong dirinya kembali, untuk memberi contoh bahwa maju tak selalu berarti harus keluar dari kampung.
Dengan semangat itu, Leonardo tidak hanya kembali untuk bertani. Ia membawa serta ilmu, pandangan baru, dan komitmen untuk membangkitkan potensi desa lewat pendekatan yang berkelanjutan: agroforestri.
Membangkitkan Lahan, Merawat Harapan

Kembali ke kampung halaman, Leonardo mendapati kenyataan kurang mengenakkan. Lahan-lahan yang dulu produktif kini banyak yang terbengkalai.
Tanaman cengkeh yang dulu menjadi primadona menghadapi serangan hama dan penurunan hasil akibat perubahan iklim dan pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan.
“Dulu kampung kami ini sentra cengkeh. Tapi sekitar tahun 1988-an, ada serangan hama besar-besaran. Banyak pohon mati, dan petani beralih ke kopi,” tuturnya.
Namun, keberuntungan kopi tidak bertahan lama. Dalam satu dekade, tanah yang semakin kehilangan kesuburannya menyebabkan produktivitas menurun drastis.
Melihat itu, Leonardo memutuskan mengembangkan pendekatan baru: penganekaragaman tanaman dalam sistem agroforestri.
Di atas lahan yang keluarganya kelola, ia mulai menanam berbagai jenis buah—alpukat, durian, pala—yang mampu berproduksi jangka panjang sekaligus memberi nilai ekonomi dan ekologi.
Dirinya ingin kebun ini bisa menopang ekonomi, tapi juga memulihkan ekosistem. Selain memberi buah, pohon-pohon itu juga menghasilkan oksigen dan perlindungan tanah.
Kini, di lahan itu, tumbuh kombinasi harmonis antara pohon tua dan tanaman muda. Di musim panen, buah-buahan segar siap dijual atau dikonsumsi keluarga. Di musim paceklik, keberagaman tanaman memastikan ada yang tetap bisa dipanen.
Bertaruh di Tengah Ketidakpastian
Namun jalan kembali ke kampung bukan tanpa keraguan.
Awal kepulangannya terasa sepi. Teman-teman seangkatannya di kampus kini bekerja di kota besar, di instansi pemerintah dan perusahaan multinasional. Sementara ia harus berjibaku dengan gulma, hama, dan cuaca tak menentu.
“Pernah juga terpikir, salah nggak ya balik ke sini? Apalagi saat awal-awal, kebun malah rugi. Banyak bibit mati karena salah urus,” kenangnya.
Lebih berat lagi, sebagian warga sekitar sempat meragukan pendekatannya. Agroforestri dianggap terlalu teoritis, hanya cocok di seminar kampus, bukan di tanah kampung.
“Pernah panen pala, tapi harganya anjlok. Rugi ratusan ribu. Sempat down juga, pengen nyerah,” ujarnya.
Namun Leonardo tidak menyerah. Ia mencatat semua kesalahan itu, memperbaiki langkah demi langkah, dan mulai membangun kepercayaan lewat hasil nyata.
Legalitas Perhutanan Sosial, Babak Baru Perubahan
Langkah besar lain terjadi pada 2023, ketika KTH Tunas Muda—kelompok tani yang dipimpin Leonardo—mendapat izin kelola kawasan hutan dari skema Perhutanan Sosial dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm). Legalitas itu bukan hanya pengakuan, tapi juga pembuka jalan untuk akses bantuan dan pelatihan.
Setelah ada izin resmi, dirinya mengaku mendapat banyak pendampingan dan bantuan dari KPH Pesawaran Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, dan BPHL Wilayah VI Lampung, dan BPDAS WSS.
“Di antaranya bantuan bibit buah-buahan, seperti alpukat, durian, kakao, dan cabai,” ujarnya.
Bantuan ini menjadi pemicu semangat baru, tidak hanya bagi Leonardo dan keluarganya, tetapi juga bagi para petani hutan muda di desanya dan di desa sekitar.
“Bibit itu mahal kalau beli sendiri. Tapi karena ada bantuan, sekarang banyak anak muda mulai turun ke kebun lagi. Mereka melihat hasilnya nyata,” katanya.
Leonardo tidak sendiri. Salah satu adiknya kini ikut kembali ke desa untuk mengelola lahan agroforestri keluarga. Meskipun adik bungsunya tinggal di kota, ia tetap berkontribusi dari kejauhan.
Izin Perhutanan Sosial ini berlaku selama 35 tahun dan bisa diperpanjang, bisa diteruskan ke anak-cucu.
Menurut Leonardo, agroforestri perhutanan sosial ini bukan sekadar bertani. Ini tentang masa depan yang dibangun bersama.
Bertani Bukan Pilihan Terpaksa
Selama bertahun-tahun, narasi dominan yang berkembang di desa adalah bahwa menjadi petani adalah pilihan terakhir.
Namun Leonardo mencoba mengubah persepsi itu dengan keteladanan. Ia menanam, merawat, dan mencatat setiap perkembangan di kebunnya.
“Hasil agroforestri kami bisa mencukupi kebutuhan harian dan tahunan. Bahkan bisa menabung. Kalau dirata-rata, penghasilan saya dari kebun ini bisa lebih dari Rp100 juta per tahun,” ungkapnya.
“Yang penting dicatat. Jangan asal panen. Harus tahu berapa yang keluar dan masuk,” katanya sambil menunjuk buku catatan yang dibawanya.
Dengan akses teknologi dan informasi yang kini mudah dijangkau, Leonardo aktif belajar praktik pertanian yang berkelanjutan.
Ia menerapkan prinsip Good Agricultural Practices (GAP), melakukan pencatatan hasil panen, dan menjaga pola tanam agar tetap sesuai kaidah ekologi.
Menurutnya, sekarang petani hutan sudah memiliki akses internet. Petani bisa belajar dari YouTube, webinar, bahkan grup WhatsApp. “Petani tidak harus tertinggal,” katanya.
Tantangan: Rantai Pasok dan Regenerasi
Meski dari sisi produksi agroforestri di Desa Batu Raja menunjukkan kemajuan, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah rantai pasok. Selama ini, hasil panen diserap oleh tengkulak, yang meski membantu distribusi, juga mengurangi margin keuntungan petani.
“Penjualan masih lancar, tapi harga belum ideal. Kalau rantai pasok bisa diperendek, tentu harga jual petani bsa lebih baik,” ujar Leonardo.
Tantangan lain adalah regenerasi petani. Banyak anak muda desa lebih memilih bekerja di kota.
Mirisnya, meskipun mereka sudah pindah ke kota, namun masih tetap dibantu oleh orangtuanya dari hasil pertanian dan perkebunan di kampung.
Leonardo percaya, jika kisah sukses seperti miliknya diperbanyak dan difasilitasi, maka akan lahir gelombang baru petani muda yang kembali ke desa untuk berkarya dengan semangat baru.
Baca juga:
* 10 Hektare Demplot Agroforestri KTH Tunas Muda di Pesawaran, dari Hutan untuk Kehidupan
Agroforestri untuk Masa Depan
Di bawah naungan Gunung Tanggang yang menjulang di kejauhan, Muammar Leonardo tidak hanya sedang bertani. Ia sedang menanam harapan—untuk desa, untuk generasi muda, dan untuk bumi yang lebih lestari.
Ia meyakini bahwa agroforestri bukan sekadar sistem tanam, melainkan filosofi hidup: menyeimbangkan antara kebutuhan manusia dan hak alam untuk pulih.
“Kalau kita rawat dengan baik, alam akan memberi lebih dari yang kita harapkan,” katanya pelan, seraya menatap barisan pohon muda di demplot agroforestri yang kini tumbuh subur, penuh janji.
Anak2 muda berpendidikan di bidang pertanian harus menjadi motor penggerak generasi muda desa dlm pengelolaan pertanian dan hutan yg lbh baik utk dpt memberikan harapan kehidupan yg lbh baik antara keseimbangan alam dan manusia
Alhamdulillah good job
Good work pak