Kebijakan Presiden Prabowo Subianto menghentikan impor beras dan memperkuat program pembelian gabah petani oleh Bulog menandai babak baru dalam sejarah pangan Indonesia.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, arah pembangunan pertanian menempatkan petani sebagai pusat kebijakan, bukan sekadar obyek politik pangan.
Keputusan ini tidak hanya berdampak pada harga gabah, tetapi juga peredaran uang di desa dan kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) di berbagai provinsi penghasil beras.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ketika harga gabah terjaga, NTP petani cenderung meningkat, menandakan daya beli petani semakin kuat. Di Jawa Tengah, Lampung, hingga Sulawesi Selatan, kenaikan harga gabah memberi energi baru bagi perputaran ekonomi pedesaan.
“Begitu Bulog masuk menyerap gabah, pasar desa langsung bergairah. Warung-warung laris, sekolah swasta di desa penuh, dan tukang bangunan kebanjiran order memperbaiki rumah petani,” ujar Suryono, seorang petani padi di Pringsewu, Lampung.
Fenomena ini menegaskan bahwa uang yang dibayarkan negara kepada petani tidak berhenti di sawah, melainkan berputar ke berbagai sektor: perdagangan, pendidikan, hingga jasa. Di titik inilah kebijakan pangan menjadi instrumen pembangunan desa yang paling nyata.
Belajar dari Negara Lain
Indonesia tidak sendirian. Thailand sejak lama menerapkan program rice pledging scheme, di mana pemerintah membeli gabah dengan harga lebih tinggi dari pasar untuk melindungi petani.
Meski kontroversial, kebijakan ini terbukti menjaga kestabilan produksi dan membuat Thailand menjadi eksportir beras utama dunia.
Vietnam juga berhasil menyeimbangkan kebutuhan domestik dan ekspor dengan cara serupa: membatasi impor, memperkuat Bulog versinya, dan memprioritaskan gabah lokal.
Jika negara-negara tetangga bisa menyejahterakan petaninya melalui proteksi cerdas, mengapa Indonesia tidak bisa? Justru dengan potensi lahan sawah yang luas dan jumlah petani yang besar, Indonesia berpeluang menjadi lumbung beras Asia, bukan hanya konsumen di pasar internasional.
Peran Pemimpin Daerah
Kebijakan pusat tidak akan berjalan tanpa dukungan daerah. Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal patut diapresiasi karena menyelaraskan program ketahanan pangan dengan kebijakan nasional. Lampung, sebagai salah satu lumbung beras, kini bergerak memperkuat irigasi, akses pupuk, dan mekanisasi pertanian.
Bupati Lampung Selatan, Radityo Egy, bahkan menegaskan komitmennya untuk menjadikan daerahnya contoh keberhasilan distribusi beras nasional. “Kami siap menjadi penyangga pangan nasional. Petani harus sejahtera, itu harga mati,” tegasnya.
Kehadiran kepala daerah yang berpihak pada petani membuktikan bahwa kedaulatan pangan bukan sekadar jargon, melainkan gerakan bersama dari pusat hingga desa.
Presiden dan Para Menteri: Arah Baru Pangan Indonesia
Pujian selayaknya diberikan kepada Presiden Prabowo Subianto yang dengan tegas menutup keran impor beras, langkah berani yang menempatkan petani di garda depan pembangunan. Menko Pangan yang memastikan koordinasi antar lembaga, serta Menteri Pertanian yang serius memperbaiki rantai produksi dari hulu ke hilir, menunjukkan bahwa pemerintah satu suara: petani adalah prioritas.
Kebijakan ini adalah refleksi keberanian. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri adalah syarat mutlak.
Baca juga:
* Tiga Isu Pertanian Lampung dan Upaya Pemerintah Menjaga Petani
Penutup
Stop impor beras dan program pembelian gabah petani adalah kebijakan bersejarah. Dampaknya terasa nyata di desa-desa: uang berputar, pasar hidup kembali, NTP naik, dan petani tersenyum bangga. Indonesia kini sedang menulis bab baru dalam perjalanan kedaulatan pangan, dengan Presiden Prabowo Subianto sebagai penggeraknya.
Sejarah akan mencatat, di bawah kepemimpinan Prabowo, petani tidak lagi dipinggirkan. Mereka kini berdiri di panggung utama pembangunan bangsa.
—
*Mahendra Utama, Pemerhati Pembangunan