Untuk Affan Kurniawan, Yang Terbaring di Aspal Jakarta

Di sudut Jakarta yang mengeras oleh deru
Kau terbaring, wahai anak Lampung yang pekat mimpi
Dengan sepeda motor dan boks nasi hangat
Kau berkelana di antara gedung-gedung yang menjulang sombong
Menghantar roti untuk orang yang kenyang
Sementara kau menabung untuk sepetak tanah
Yang tak pernah kau datangi lagi.

Hari itu langit kelabu menyelimuti ibu kota
Suara benturan, teriakan, dan lolosan peluru
Mengepung ruas-ruas jalan di Pejompongan
Lalu kau datang—bukan sebagai pemberontak
Tapi sebagai pengantar yang setia
Terjebak di antara amuk massa dan besi baja
Yang tak kenal ampun.

Read More

Darahmu muncrat di aspal yang panas
Tubuhmu remuk di bawah roda-roda yang dibela negara
Matamu terpejam, masih menyimpan heran:
“Mengapa negeri membunuh anaknya yang lapar
Bukan membagikan nasi, tetapi timah dan besi?”

Wahai Affan, saudaraku, korban zaman
Kau yang hanya ingin membangun rumah untuk ibumu
Kini jadi bunga beton yang layu sebelum mekar
Kau yang setiap hari menghitung rupiah untuk adik-adikmu
Kini jadi deretan angka di berita malam
Yang cepat terlupa.

Aku menulis untukmu dari sudut sejarah yang kelam
Aku, yang pernah mendengar teriakan serupa di tahun 98
Saat mahasiswa tertembak, dan reformasi digantung
Sekarang kau—pengendara gojek yang bersih hati—
Jadi martir baru di malapetaka Agustus 2025
Dibunuh oleh yang seharusnya menjagamu.

Mereka bilang ini “insiden”
Mereka bilang “akan kami usut tuntas”
Tapi kami sudah terlalu tua untuk percaya
Kami tahu yang mati hanya akan jadi catatan kaki
Dalam buku kekuasaan yang dingin.

Tapi hari ini, kami tak akan diam lagi
Karena kau bukan hanya satu nyawa
Kau adalah potret nestapa kami semua
Kaulah suara dari yang tak bersuara
Kaulah luka dari yang terluka
Kaulah doa dari yang tak sempat berdoa.

Maka tidurlah, Affan Kurniawan
Di antara pelukan kami yang murka
Di antara api lilin yang tak padam
Di antara teriakan “JUSTICE FOR AFFAN!”
Yang akan menggema dari Jakarta sampai Lampung
Dari istana sampai ke gubuk reyot tempatmu dulu bermimpi.

Kami bersaksi:
Kau akan jadi simbol
Bahwa di republik ini
Nyawa rakyat kecil bukanlah harga mati
Untuk diinjak-injak oleh kekuasaan yang lalim.

Selamat jalan, pahlawan tanpa tanda jasa
Kami akan terus berdoa dan melawan
Sampai pertanyaanmu terjawab:
“Mengapa negeri membunuh anaknya yang hanya ingin bekerja?”

Ditulis dengan amarah dan duka oleh Mahendra Utama, Eksponen 98 yang masih percaya bahwa reformasi belum selesai.

Bandar Lampung, 29 Agustus 2025

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *