Tiga pekan masuk September 2025, dunia politik global seperti sedang mengalami guncangan beruntun. Dari Tokyo hingga Paris, dari Kathmandu sampai Helsinki, drama politik bergulir dengan intensitas yang mencengangkan.
Jepang: Akhir Era Ishiba yang Singkat
Pengumuman pengunduran diri Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba pada Minggu lalu menandai berakhirnya kepemimpinan yang bahkan belum genap setahun. Keputusan ini bukan kejutan bagi pengamat politik Jepang, mengingat serangkaian kekalahan elektoral yang melemahkan posisi Partai Liberal Demokratik.
Yang menarik dari kasus Ishiba adalah timing-nya yang strategis. Dia memilih mundur setelah negosiasi tarif dengan Amerika Serikat mencapai “tonggak penting”—sebuah langkah politik yang menunjukkan bahwa bahkan dalam keruntuhan, seorang pemimpin masih bisa menentukan momen exit yang bermartabat.
Implikasi ekonomi dari kekosongan kepemimpinan ini tidak main-main. Yen yang melemah dan ketidakpastian kebijakan Bank of Japan menciptakan nervousness di pasar Asia. Investor global kembali diingatkan bahwa stabilitas politik tetap menjadi fondasi kepercayaan ekonomi.
Eropa: Krisis Berkepanjangan
Sementara Jepang bergulat dengan transisi kepemimpinan, Eropa tengah menghadapi krisis multidimensional. Prancis, sebagai salah satu pilar Uni Eropa, kembali terjebak dalam pusaran ketidakstabilan politik yang mengancam tidak hanya ekonomi domestik, tetapi juga stabilitas euro.
Pencarian perdana menteri kelima dalam tiga tahun terakhir bukan sekadar statistik politik biasa—ini adalah symptom dari fragmentasi sistem politik Prancis yang semakin dalam. Ketika yield obligasi pemerintah Prancis 30 tahun menyentuh level tertinggi sejak krisis finansial 2009, pasar sedang mengirim sinyal peringatan yang jelas.
Di ujung utara Eropa, retorika keras Dmitry Medvedev terhadap Finlandia menambah kompleksitas geopolitik kawasan. Tuduhan bahwa Helsinki mempersiapkan “pijakan serangan terhadap Rusia” mungkin terdengar hiperbolis, tetapi ini mencerminkan eskalasi ketegangan yang real antara NATO dan Rusia.
Asia Selatan: Ketika Rakyat Melawan
Drama paling tragis mungkin terjadi di Nepal, di mana bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan menewaskan sedikitnya 10 orang. Protes terhadap larangan media sosial ini mengingatkan kita pada paradoks demokrasi digital: ketika pemerintah mencoba mengontrol ruang digital, resistensi justru mengalir ke jalan-jalan fisik.
Penerapan jam malam di sekitar gedung-gedung pemerintahan Kathmandu menunjukkan betapa rapuhnya legitimasi ketika berhadapan dengan kemarahan publik yang terorganisir.
Narasi Besar: Politik Post-Pandemic
Apa yang menghubungkan semua peristiwa ini? Kita sedang menyaksikan manifestasi lanjutan dari krisis legitimasi politik yang dimulai sejak pandemi. Institusi-institusi politik tradisional di berbagai negara menghadapi tantangan adaptasi terhadap realitas baru: masyarakat yang semakin kritis, ekonomi yang tidak stabil, dan geopolitik yang makin kompleks.
Kasus-kasus seperti klaim kontroversial NESARA/GESARA yang menyebar di media sosial menunjukkan betapa publik global tengah mencari alternatif radikal terhadap sistem yang ada—meskipun alternative tersebut seringkali tidak realistis.
Apa yang Harus Kita Pelajari?
Pertama, stabilitas politik tidak lagi bisa dianggap sebagai given. Bahkan negara-negara dengan tradisi demokrasi mapan seperti Jepang dan Prancis mengalami guncangan yang signifikan.
Kedua, koneksi antara politik domestik dan ekonomi global semakin tight. Keputusan politik di Tokyo atau Paris langsung ber-impact pada pasar-pasar di kawasan lain.
Ketiga, media sosial telah menjadi arena politik baru yang tidak bisa diabaikan. Larangan terhadap platform digital di Nepal berujung pada bloodshed—sebuah reminder bahwa controlling information flow di era digital adalah misi yang hampir impossible.
Baca juga:
* Melacak Jejak Digital dalam Era Post-Truth
Epilog
September 2025 akan diingat sebagai bulan ketika banyak kepastian politik mulai runtuh bersamaan. Bagi Indonesia yang relatif stabil, ini adalah momentum untuk belajar dari kekacauan di tempat lain.
Dunia sedang berubah dengan cepat, dan mereka yang tidak mampu beradaptasi akan tersapu oleh arus perubahan. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan terdampak, tetapi seberapa siap kita menghadapi gelombang perubahan yang sedang datang.
—
*Mahendra Utama adalah aktivis Reformasi 1998 dan pemerhati politik
#PolitikGlobal #IshilaResign #KrisisPrancis #TegangganRusiaFinlandia #DemokrasiDigital #ResetEkonomi #GeopolitikAsia #AnalisisPolitik #September2025