Saya masih ingat betapa terkejutnya ketika membaca berita tentang penyerahan uang sitaan korupsi senilai Rp13,25 triliun dari Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada Menteri Keuangan, disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Bukan angkanya yang membuat saya tertegun meski memang fantastis tetapi niat di balik semua itu: sebagian dana tersebut akan diperkuat untuk beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Ada ironi yang menyentuh di sini. Uang yang dulunya dikorup, hasil pengkhianatan terhadap rakyat, kini dikembalikan untuk membiayai pendidikan anak-anak bangsa.
Seperti ada upaya menebus dosa masa lalu dengan investasi masa depan. Dan kalau dipikir-pikir, memang tidak ada investasi yang lebih masuk akal dari ini. Pendidikan bukan sekadar mencetak lulusan bergelar, tapi membentuk manusia yang punya karakter, kreativitas, dan daya juang.
Mungkin tidak mengherankan kalau kebijakan ini muncul dari sosok seperti Prabowo. Latar belakang militernya mengajarkan disiplin dan strategi jangka panjang bukan sekadar taktik sesaat yang terlihat bagus di media.
Lebih dari itu, ia tumbuh dalam keluarga yang memahami betul arti pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ayahnya, Profesor Sumitro Djojohadikusumo, adalah salah satu begawan ekonomi Indonesia yang pemikirannya masih relevan hingga kini.
Dari sana, sepertinya Prabowo mewarisi visi bahwa pembangunan sejati itu dimulai dari investasi terhadap manusianya, bukan sekadar infrastruktur atau angka pertumbuhan semata.
Yang menarik dari langkah ini adalah bagaimana Prabowo sepertinya paham bahwa keadilan bukan cuma soal menghukum orang jahat.
Keadilan yang sejati itu juga tentang memulihkan apa yang rusak. Mengubah hasil korupsi jadi modal beasiswa itu bentuk keadilan restoratif yang nyata. Bukan cuma memenjarakan koruptor, tapi juga memerdekakan generasi muda dari keterbatasan akses pendidikan.
Perpaduan antara ketegasan militer dan kepekaan ekonomi politik tampaknya membentuk kepemimpinan yang tidak hanya keras, tapi juga punya hati.
Selama ini, LPDP sudah membantu ribuan anak muda Indonesia kuliah di dalam dan luar negeri. Saya punya beberapa teman yang merasakan manfaatnya ada yang dari keluarga sederhana, bahkan miskin, tapi bisa merasakan bangku kampus terbaik di dunia.
Dengan dana tambahan dari sitaan korupsi ini, harapannya cakupan beasiswa bisa lebih luas lagi. Bayangkan kalau anak nelayan di pesisir, anak petani di pelosok, atau anak buruh di kota kecil punya kesempatan yang sama untuk belajar setinggi-tingginya. Di situlah letak keadilan sosial yang sesungguhnya.
Tentu saja, kita tidak boleh terlalu naif. Simbolisme itu penting, tapi eksekusi lebih penting lagi. Jangan sampai ini cuma jadi momen seremonial yang ramai di media, lalu tenggelam begitu saja.
Baca juga:
* Rumah Subsidi: Kebahagiaan Nyata untuk Rakyat dari Prabowo Subianto
Saya dan mungkin banyak orang lain ingin melihat bagaimana dana ini benar-benar sampai ke tangan anak-anak yang membutuhkan, bukan mandek di tengah jalan karena birokrasi yang berbelit atau amit-amit dikorupsi lagi.
Tapi untuk sekarang, mari kita apresiasi langkah ini sebagai tanda harapan. Bahwa dari uang yang kotor, bisa lahir masa depan yang lebih cerah. Bahwa negara ini masih punya hati nurani untuk mengembalikan apa yang sempat dicuri dari rakyatnya. Dan yang paling penting, bahwa pendidikan tetap jadi prioritas bukan hanya di ucapan, tapi juga di anggaran.
Semoga ini bukan cuma awal yang baik, tapi juga jalan panjang yang konsisten.
*Mahendra Utama – Pemerhati Pembangunan