Demo Lampung 1 September 2025: Pelajaran Demokrasi dari Bumi Ruwa Jurai

Demo 1 September 2025 di Lampung - Pelajaran Demokrasi dari Bumi Ruwa Jurai - Mahendra Utama
Gubernur Mirza didampingi Forkopimda Lampung sedang berdialog dengan pimpinan dan massa demonstrasi 1 September. (Foto: Andri Gunawan)

Ketika Jakarta masih berkutat dengan puing-puing kerusakan senilai Rp 55 miliar akibat demonstrasi yang berujung ricuh, Lampung menunjukkan wajah lain demokrasi Indonesia.

Aksi unjuk rasa Aliansi Lampung Melawan pada 1 September 2025 berlangsung tertib, damai, tanpa meninggalkan jejak kehancuran.

Read More

Bukan sekadar kebetulan, melainkan buah dari perpaduan strategi keamanan yang matang, kepemimpinan yang responsif, dan yang terpenting, kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi.

Anatomi Demonstrasi Damai

Keberhasilan demonstrasi di Lampung tidak lahir dari kekosongan. Polresta Bandarlampung telah menerapkan rekayasa lalu lintas sejak pukul 07.00 WIB, mengalihkan arus kendaraan dari jalur utama menuju DPRD Lampung.

Langkah antisipasi ini bukan hanya menjaga kelancaran lalu lintas, tetapi lebih strategis lagi, meminimalkan gesekan antara massa demonstrasi dengan warga yang beraktivitas normal.

Yang lebih mengesankan, aparat kepolisian dan TNI berhasil mengidentifikasi dan mengamankan sejumlah individu yang diduga provokator, termasuk mereka yang membawa bom molotov.

Tindakan preemtif ini mencegah infiltrasi unsur destruktif yang kerap memanfaatkan momentum demonstrasi untuk kepentingan sempit.

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menunjukkan kepemimpinan yang patut diacungi jempol. Alih-alih menghindar atau bersembunyi di balik tembok birokrasi, ia memilih turun langsung menemui massa bersama Kapolda dan Pangdam. Dialog langsung ini menciptakan atmosfer saling menghormati, menjauhkan demonstrasi dari potensi konfrontasi.

Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial

Namun, faktor terpenting yang membedakan Lampung dengan Jakarta terletak pada kekuatan nilai-nilai kearifan lokal yang masih hidup dalam keseharian masyarakatnya. Pi’il pesenggiri—perangai yang tidak keras namun pantang mundur terhadap ketidakadilan—menjadi panduan dalam menyuarakan aspirasi. Massa demonstrasi tetap tegas dalam tuntutan, namun tidak kehilangan kesantunan.

Falsafah nemui nyimah (sopan santun dan bermurah hati) tercermin dalam perilaku demonstran yang tidak merusak fasilitas publik. Mereka paham bahwa infrastruktur yang dibangun dengan uang rakyat adalah milik bersama yang harus dijaga. Nilai nengah nyappur (kemampuan berbaur) mendorong penyelesaian masalah melalui musyawarah, bukan konfrontasi fisik.

Yang tak kalah penting, sakai sembayan (gotong royong) mengingatkan bahwa perjuangan untuk perubahan harus dijalankan dengan menjaga kebersamaan, bukan dengan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial.

Kontras dengan Jakarta

Berbeda dengan Lampung, demonstrasi di Jakarta pada akhir Agustus 2025 meninggalkan luka mendalam. Kerusakan infrastruktur MRT mencapai Rp 3,3 miliar, Transjakarta Rp 41,6 miliar, plus kerusakan CCTV dan infrastruktur lainnya senilai Rp 5,5 miliar. Belum lagi kerugian akibat subsidi transportasi yang membengkak hingga Rp 18 miliar.

Perbedaan mencolok ini bukan semata karena skala demonstrasi, melainkan pendekatan yang ditempuh. Di Jakarta, koordinasi antara massa demonstrasi dengan aparat keamanan terkesan minim.

Unsur anarkisme dan provokator lebih mudah menyusup dan memicu kerusuhan. Pemerintah Jakarta pun tampak lebih reaktif, sibuk menangani kerusakan pasca-demonstrasi ketimbang mencegah sejak awal.

Pelajaran untuk Demokrasi Indonesia

Sebagai Eksponen 1998, saya menyaksikan bagaimana gerakan mahasiswa dapat mengubah sejarah bangsa tanpa harus menghancurkan negeri. Demonstrasi Lampung mengingatkan kembali esensi unjuk rasa dalam demokrasi: menyuarakan aspirasi dengan tetap menjaga martabat dan peradaban.

Keberhasilan Lampung patut menjadi model bagi daerah lain. Pertama, pemerintah daerah harus responsif dan proaktif dalam mendengarkan aspirasi rakyat. Dialog langsung antara pimpinan daerah dengan massa demonstrasi terbukti efektif meredakan ketegangan.

Kedua, aparat keamanan perlu menerapkan strategi pre-emptif untuk mengidentifikasi dan menetralisir potensi provokator sebelum aksi berlangsung. Bukan dengan represi, melainkan dengan intelligence dan tindakan hukum yang tepat sasaran.

Ketiga, masyarakat sipil harus berpartisipasi aktif menjaga perdamaian. Keputusan komunitas ojek online di Lampung untuk tidak turut dalam aksi karena kekhawatiran akan provokasi menunjukkan kematangan berpikir yang patut diteladani.

Yang paling fundamental, nilai-nilai kearifan lokal harus dipelihara sebagai modal sosial dalam kehidupan berdemokrasi. Pi’il pesenggiri, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sembayan bukan sekadar slogan, melainkan panduan hidup yang relevan untuk zaman ini.

Demokrasi Indonesia tidak membutuhkan lebih banyak kerusakan dan perpecahan. Yang dibutuhkan adalah keteladanan seperti yang ditunjukkan masyarakat Lampung: tegak dalam prinsip, santun dalam cara, dan bijak dalam tindakan. Bumi Ruwa Jurai telah memberikan pelajaran berharga bagi republik ini.

*Mahendra Utama, Eksponen 98

Baca juga:
* Gerak Cepat Prabowo Subianto dan Jalan Lapang Reformasi 2025

Sumber Data:

  1. Aksi Demo 1 September 2025 di Lampung, Begini Rekayasa Lalu Lintas Polisi
  2. Demo Mahasiswa di Bandar Lampung: Pusat Perbelanjaan dan SPBU Tutup, Aktivitas Ekonomi Lumpuh
  3. 10 Tuntutan Pendemo di Depan Gedung DPRD Lampung
  4. Pramono: Estimasi Kerugian Akibat Kericuhan Demonstrasi Tembus Rp55 M
  5. 5 Falsafah Hidup Masyarakat Lampung yang Keren
  6. Gelombang Unjuk Rasa Di Lampung: Ribuan Mahasiswa Tuntut Evaluasi Pemerintah Hingga Reformasi Polri
  7. Demo Ricuh, Kerugian Fasum Jakarta Capai Rp 50,4 Miliar
---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *