Indonesia telah menegaskan komitmennya dalam melindungi lingkungan hidup dan memenuhi target Paris Agreement, dengan menyusun serangkaian strategi yang komprehensif.
Dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim, negara telah menerapkan serangkaian langkah. Termasuk pembentukan Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution (NDC), Peta Jalan NDC Mitigasi, Updated NDC, dan Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
Namun, bagaimana hal ini dipraktikkan dan mengapa hal ini penting bagi kita semua?
Meninjau Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) dan Kegiatan KPH
Langkah penting dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia terfokus pada unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Saat ini, terdapat 532 unit KPH yang terdiri dari KPHP dan KPHL, yang memainkan peran penting dalam pengelolaan hutan dari perencanaan hingga pengendalian.
Pada sosialisasi di Jakarta, Selasa (31/10/2023), Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menekankan pentingnya regulasi teknis dan kemampuan manajerial dalam mendukung penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Peran Vital Kepala Dinas dan KPH
Bambang mendorong para Kepala Dinas yang membidangi kehutanan untuk mendampingi Gubernur di seluruh Indonesia.
“Sebelum menuju ke aksi mitigasi perubahan iklim dan perdagangan karbon sektor di KPH, saya ingin mengajak kepada seluruh Kepala Dinas yang membidangi kehutanan untuk mendampingi Gubernur di seluruh Indonesia,” Bambang meminta.
Menurutnya, kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sangat penting dalam mengelola Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Kolaborasi para kepala UPTD KPH di tingkat kabupaten menjadi kunci sukses dalam pengelolaan hutan.
“Maka dari itu jaga dan kelola Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam satu kesatuan kebijakan,” ucap Bambang.
Kepada Kepala KPH, Bambang menegaskan, agar melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi hingga pada tingkat tapak. Karena hal tersebut adalah kunci keberhasilan dalam pengelolaan hutan.
“KPH sebagai vektor pembangunan kehutanan di tingkat tapak perlu mendapat dukungan dari semua pemangku kepentingan.” ia menambahkan.
Karena itu, diperlukan pengawalan implementasi tugas dan fungsi UPTD KPH dalam pengelolaan hutan lestari dan pengendalian perubahan iklim.
“Kerja-kerja lapangan intensif berbasis tapak perlu terus ditingkatkan dalam menanggulangi triple planetery crisis,” tutup Bambang.
(Triple planetery crisis: perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati)
Mekanisme Perdagangan Karbon: Mendukung Penurunan Emisi GRK
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Kementerian LHK, Drasospolino mengungkapkan bahwa, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Perpres NEK yang bertujuan untuk mendukung penurunan emisi dan peningkatan serapan emisi GRK sektor kehutanan.
Dalam konteks ini, perdagangan karbon menjadi sarana utama untuk mencapai target pengurangan emisi GRK dan pencapaian Net Zero Emission secara global.
Perpres NEK adalah Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres NEK).
Untuk mendukung aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan serapan emisi GRK sektor kehutanan, Drasospolino menganggap perlu adanya tata kelola karbon. Salah satunya melalui perdagangan karbon.
Berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya ekonomis, perdagangan karbon pun dikembangkan. Mekanisme perdagangan karbon juga akan menyumbang kontribusi untuk meraih target pengurangan emisi GRK dan Net Zero Emission secara global.
Pembiayaan pencapaian target penurunan emisi GRK Nasional dapat berasal dari berbagai sumber. Bisa dari mekanisme pasar maupun non-pasar.
Pembiayaan melalui mekanisme pasar dapat berasal dari perdagangan emisi dan Offset emisi.
Sedangkan pembiayaan melalui mekanisme non-pasar dapat berasal dari anggaran pemerintah, swasta, maupun dari donor internasional (bilateral dan multilateral).
Mekanisme Pembiayaan dan Skema Aksi Pemerintah
Untuk mencapai tujuan penurunan emisi GRK, pemerintah menggunakan tiga skema utama: Mekanisme non-pasar Result Based Payment (RBP), mekanisme berbasis pasar melalui perdagangan karbon, dan pajak atas karbon.
Melalui RBP, Indonesia telah mendapat pengakuan dari komunitas global atas keberhasilan dalam penurunan emisi GRK dari dari kegiatan Deforestasi dan degradasi hutan.
Pengakuan itu berupa persetujuan dari GCF untuk menurunkan dana sebesar 103,8 Juta USD sebagai pembayaran kinerja/ Result Based Payment program REDD+. Hal ini juga menjadi bukti komitmen dan aksi nyata Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim.
Pembayaran Berbasis Hasil (Result Based Payment) REDD+ ini adalah keberhasilan penurunan emisi yang telah mendapatkan verifikasi dari Tim Teknis Independen yang ditunjuk oleh sekretariat UNFCCC.
Drasospolino juga menjelaskan, mekanisme berbasis pasar melalui kegiatan jual beli unit karbon dapat dilakukan melalui perdagangan dalam negeri dan/atau perdagangan luar negeri. Bisa melalui pasar karbon melalui Bursa Karbon dan/atau perdagangan langsung.
Perdagangan karbon ini, menurut Drasospolino, merupakan wujud campur tangan Pemerintah yang diharapkan efektif untuk meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim.
Dua Mekanisme Perdagangan Karbon
Ada 2 (dua) mekanisme utama dalam perdagangan karbon. Yaitu, perdagangan emisi dan offset emisi.
Mekanisme perdagangan emisi juga disebut sistem cap and trade. Dalam cap and trade ini, para pelaku usaha (perusahaan atau organisasi) wajib mengurangi emisi GRK dengan ditetapkannya Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) atau emission cap.
Sedangkan yang diperjualberikan dalam mekanisme offset emisi/offset karbon adalah, hasil penurunan emisi atau peningkatan penyerapan/penyimpanan karbon.
Pelaksanaan kegiatan/aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim yang kemudian akan menghasilkan penurunan emisi GRK.
Pada awal aksi mitigasi yang dilakukan oleh pelaku usaha, biasanya harus bisa dibuktikan terkait praktik atau teknologi yang digunakan (common practice).
Perlu dilihat praktik/teknologi sebelum adanya aksi mitigasi, untuk mengetahui emisi baseline. Lalu diukur/diverifikasi pencapaian dari hasil aksi mitigasinya pada akhir periode, melalui proses yang biasa disebut MRV (Monitoring, Reporting and Verification).
Pentingnya Sosialisasi: Pemahaman Aksi dan Peluang
Kegiatan Sosialisasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan bertujuan untuk menyediakan pemahaman tentang peran dan potensi KPH dalam beberapa aspek, termasuk:
- Upaya mitigasi untuk mengendalikan dampak perubahan iklim melalui aktivitas yang mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan penyerapan karbon, serta memperkuat cadangan karbon;
- Penerapan perdagangan karbon dengan pendekatan pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui transaksi jual-beli unit karbon;
- Evaluasi karbon dan dukungan terhadap kegiatan pelaku usaha yang terlibat dalam perdagangan karbon; dan
- Peluang pendanaan guna memperkuat tata kelola hutan produksi dan hutan lindung untuk mencapai target implementasi FOLU Net Sink 2030 Indonesia.
Baca juga:
* Gubernur Lampung Apresiasi FGD Sinergi Pengawasan TSL di Sumatera
Kegiatan sosialisasi Sosialisasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim dan Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan di KPH ini dihadiri oleh berbagai pihak. Antara lain; Direktur dari Ditjen PHL, Direktur Konservasi Tanah dan Air dari Ditjen PDASRH, Kepala BP2SDM, Pejabat Eselon II di lingkup Kementerian LHK, Kasubdit Kehutanan dari Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I Kementerian Dalam Negeri, Direktur Penghimpunan dan Pengembangan Dana di BPDLH.
JUga dihadiri oleh Kepala Dinas Provinsi yang menangani sektor kehutanan, Kepala BPHL, Kepala KPH, Project Management Unit GCF, dan Perwakilan dari Eselon I di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.