Dusun Bumiayu di bagian barat daya Desa Babakan Loa, Kecamatan Kedondong, Pesawaran, menyuguhkan pemandangan hijau yang menyejukkan. Rimbun tajuk kemiri menaungi jalan setapak sempit yang beralas susunan batu hasil gotong royong warga.
Diapit lereng-lereng perbukitan Register 21, dusun ini seakan menyimpan cerita tentang bagaimana masyarakat menjaga hutan sekaligus menghidupi keluarga.
Di sela-sela tajuk tinggi pohon kemiri, cengkeh, dan pala, berdiri seorang lelaki bersahaja. Dahyoto, atau akrab disapa Idoy, sedang memeriksa kebun agroforestri yang dikelolanya puluhan tahun.
Idoy bukan petani biasa. Lahir pada Oktober 1977 di Dusun Bumiayu, Babakan Loa, ia tumbuh besar dalam kultur bertani padi dan palawija.
Tapi seiring waktu dan perubahan alam, ia menyadari bahwa bertani padi bukanlah pilihan berkelanjutan untuk wilayah perbukitan dan lereng-lereng curam Register 21 di Desa Babakan Loa.
Alih-alih pergi merantau seperti sebagian pemuda lain, Idoy memilih tinggal.
“Saya sudah mantap. Hidup saya di sini,” ujarnya singkat.
Bagi Idoy, Bumiayu bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang hidup yang harus dijaga, diwariskan dengan cara yang lebih bijaksana.
Sejak muda, Idoy sudah akrab dengan tanah perbukitan dan derasnya hujan yang kerap mengguyur lereng. Dari pengalaman itulah ia belajar, bertani tidak bisa hanya mengandalkan kebiasaan lama.
Ia mulai mencari cara yang lebih sesuai dengan kondisi alam sekitar. Pilihan itu mengantarnya pada jalan panjang untuk merintis kebun kemiri dan tanaman kehutanan lain di dusunnya.
Bertani dengan Akal Sehat

Tahun-tahun awal menikah pada 2002, Idoy mulai menanam kemiri di lahan hutan lindung sekitar dusunnya. Ia memulainya dengan lahan kecil yang digarap sendiri.
Tak ada pidato panjang atau kampanye meyakinkan rekan satu dusun. Ia memberi contoh dengan Tindakan nyata.
“Masyarakat lebih percaya pada apa yang dilihat mata mereka,” katanya.
Lambat laun, warga mengikuti langkah Idoy. Kemiri terbukti cocok di tanah berbukit.
Tajuknya yang lebat mampu melindungi lapisan tanah dari hempasan hujan. Akar-akarnya mencengkeram lereng, mencegah longsor yang belakangan makin sering terjadi akibat perubahan iklim.
Selain kemiri, Idoy juga menanam kopi, kakao, lada, dan sesekali palawija sebagai tanaman sela. Ia memelihara beberapa kambing sebagai sumber tambahan ekonomi rumah tangga.
Dua anaknya yang kini berusia 18 dan 14 tahun, ikut membantu saat musim panen tiba.
Namun lebih dari sekadar bertani, Idoy perlahan membangun kultur baru: agroforestri berbasis gotong royong.
Dari Sawah ke Hutan

Perubahan besar dalam kehidupan pertanian warga Dusun Bumiayu adalah pergeseran dari padi ke tanaman kehutanan.
Bertahun-tahun lamanya, warga menggantungkan hidup dari sawah-sawah kecil yang bergantung pada musim hujan. Tapi hasilnya tak selalu pasti.
Kini, warga mulai sadar bahwa tanaman multipurpose tree species (MPTS) seperti kemiri dan HHBK (hasil hutan bukan kayu) lainnya lebih stabil dan menguntungkan.
Hasil kemiri bisa dijual untuk membeli beras dari luar dusun. Tanaman-tanaman tersebut juga menjaga lingkungan tetap lestari.
“Kalau hanya padi, begitu panen habis, selesai. Tapi kalau kemiri, kakao, cengkeh, pala, dan kopi, sepanjang tahun ada hasil. Dan yang penting, tanah tidak rusak,” jelas Idoy.
Ia tak ingin anak-cucunya tumbuh di dusun yang tanahnya kritis dan rawan longsor. Karena itu, edukasi lingkungan ia lakukan dari kebun.
Ia mencontohkan tetangganya tentang pentingnya tajuk untuk menahan benturan air hujan dan angin dan akar pohon untuk mengikat dan menstabilkan tanah.
Jalan Setapak Harapan

Tantangan tak berhenti di lahan. Setelah panen, masalah terbesar adalah akses. Jalan setapak dari dusun menuju desa induk masih berupa tanah berbatu dan licin saat hujan. Motor sering selip, hasil panen terhambat keluar.
Tak kehabisan akal, Idoy mengajak warga menyusun batu demi batu membangun jalan setapak. Bukan proyek pemerintah, bukan pula swadaya berbayar. Mereka cukup membawa tenaga dan semangat gotong royong.
Kini, hasil kemiri, kopi, dan kakao bisa lebih mudah dijual ke pengepul di desa.
“Kalau jalan tidak diperbaiki, ya percuma panen banyak. Tidak bisa keluar,” katanya, sambil menunjuk jalur sempit yang kini bisa dilewati motor roda dua.
Pupuk dari Sisa Dapur
Idoy juga dikenal ulet dan gemar belajar. Ia bukan lulusan pertanian, namun pengetahuannya tentang agroforestri sering membuat penyuluh kehutanan KPH Pesawaran Dinas Kehutanan Provinsi Lampung terkesan.
Belakangan ini, ia mencoba mengolah sisa dapur seperti kulit pisang, ampas sayur, dan air cucian beras menjadi pupuk organik. Prosesnya ia pelajari dari pelatihan eco-enzyme di desa tetangga.
Pupuk itu ia gunakan di kebun kakao dan kopi. Hasilnya cukup baik. Daun lebih hijau, tanah lebih gembur. Ia bahkan mulai mengajarkan teknik ini ke tetangga dusun agar sampah dapur bisa lebih berguna.
“Kalau bisa buat sendiri, kenapa harus beli?” ujarnya, sambil tersenyum kecil.
Ekonomi dari Pohon Kemiri

Dari kebun agroforestri yang dirintis sejak awal 2000-an, Idoy kini memiliki lebih dari 150an batang kemiri produktif. Setiap musim panen, pohon-pohon itu bisa menghasilkan puluhan karung biji kering.
Dalam setahun, rata-rata ia memperoleh 1,5—2 ton kemiri yang dijual ke pengepul di desa tetangga dengan harga Rp12.000—Rp15.000 per kilogram.
“Kalau ditotal, lumayan bisa buat bayar sekolah anak dan belanja kebutuhan rumah,” katanya.
Selain kemiri, kopi dan kakao juga menambah pendapatan. Dari kedua komoditas itu, Idoy bisa mengantongi tambahan beberapa juta rupiah setiap musim.
Hasilnya memang tidak besar, tetapi cukup untuk menopang hidup tanpa harus meninggalkan kampung halaman.
Baginya, yang lebih penting dari sekadar uang adalah kepastian. Dengan kombinasi kemiri, kopi, kakao, cengkeh, dan pala, pemasukan bisa datang hampir sepanjang tahun.
Sistem ini membuat keluarga lebih tenang menghadapi kebutuhan harian tanpa menunggu panen tunggal seperti padi.
Apresiasi dari Penyuluh Kehutanan
Apa yang dilakukan Idoy tidak luput dari perhatian para penyuluh kehutanan. Marlinang, penyuluh di KPH Pesawaran, misalnya, menyebut pola agroforestri di Dusun Bumiayu sebagai contoh praktik baik perhutanan sosial.
“Idoy membuktikan bahwa hutan bisa lestari sekaligus memberi hasil ekonomi. Caranya sederhana, tapi konsisten,” ujar Marlinang, yang akrab disapa Marlin.
Menurut Marlin, keberhasilan Idoy menanam kemiri dan tanaman kehutanan lain telah mendorong banyak tetangga mengikuti langkah serupa.
Marlin menambahkan. inisiatif warga seperti Idoy merupakan bukti bahwa program perhutanan sosial tidak hanya berhenti pada izin, tetapi tumbuh menjadi gerakan kolektif yang nyata di lapangan.
Baca juga:
* Muamar Leonardo, Lulusan Pascasarjana UGM yang Pilih Pulang Kampung jadi Petani Agroforestri
Komitmen yang Tak Tergoyahkan
Bagi Idoy, setiap pohon yang tumbuh di perbukitan Bumiayu adalah jaminan hidup bagi generasi berikutnya. Ia tidak melihat hutan semata sebagai ruang mencari nafkah, tetapi juga sebagai penyangga air, tanah, dan kehidupan.
Karena itu, meski banyak yang memilih pergi merantau, Idoy tetap bertahan.
“Kalau semua pergi, siapa yang jaga hutan?” ujarnya pelan.
Dan ia ingin, kelak anak-anaknya bisa hidup di dusun yang aman, subur, dan lestari—bukan hanya sekadar tempat singgah.
Kini, di bawah rindangnya kemiri yang ia tanam hampir dua dekade lalu, Idoy terus menanam harapan. Bukan untuk dirinya semata, tapi untuk masa depan dusunnya.
Idoy percaya, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Dan langkah itu sudah ia ayunkan sejak lama, demi dusun yang tetap aman, subur, dan lestari.