Tanggapan PTPN 1 terhadap tudingan Walhi belakangan ini memperlihatkan kelemahan serius dalam strategi Public Relations perusahaan.
Yang paling mencolok? Penanganan isu sensitif yang justru menciptakan masalah baru.
Mengapa Tanggapan PTPN 1 Bermasalah?
Bayangkan Anda punya masalah hukum rumit, lalu yang diminta bicara ke media adalah tukang kebun bukan pengacara. Kira-kira begitulah gambaran situasi yang terjadi.
Seorang Manajer Kebun PTPN 1 diminta menanggapi isu kompleks soal kepemilikan lahan.
Niatnya baik untuk menghalau isu, tapi dari kacamata strategi PR? Ini bencana.
1. Salah Orang, Salah Strategi
Cutlip, Center & Broom pernah bilang bahwa PR adalah fungsi manajemen untuk membangun hubungan baik.
Dalam krisis, dua hal harus jalan: pengumpulan fakta dan komunikasi terencana. Keduanya butuh orang yang tepat.
Manajer Kebun sekali lagi, dengan segala hormat punya keahlian di pengelolaan teknis perkebunan.
Bukan di urusan status hukum lahan yang butuh data sertifikat dan dokumen legal lainnya.
Memberikan keterangan tanpa data resmi? Sama saja menggali lubang untuk diri sendiri. Inkonsistensi bisa muncul kapan saja, dan kredibilitas langsung anjlok.
Rusady Ruslan tahun 2005 sudah mengingatkan: tujuan utama PR adalah membangun kepercayaan bersama.
Bagaimana mau dapat kepercayaan kalau yang bicara bukan orang yang berwenang?
2. Reaktif, Bukan Proaktif
Isu lingkungan yang melibatkan Walhi organisasi publik dengan kredibilitas tinggi ini bukan isu biasa. Ini krisis reputasi yang perlu penanganan terpusat dan terukur.
Tapi yang terjadi? PTPN 1 terkesan reaktif dan desentralistik. Padahal, dalam situasi seperti ini, alur komunikasi krisis idealnya harus melalui Humas pusat, yang kemudian berkoordinasi dengan direksi untuk pengambilan keputusan strategis.
Ini bukan praktik baru, BUMN lain sudah melakukannya sejak lama.
Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Kantor pusat dan Divisi Humas PTPN 1 perlu segera mengambil alih kendali. Berikut langkah-langkah yang seharusnya diterapkan:
A. Sentralisasi Komunikasi
Humas pusat harus jadi satu-satunya sumber informasi resmi. Hentikan praktik membiarkan manajer kebun memberikan keterangan soal status lahan. Satu suara, satu narasi, satu sumber.
B. Tunjukkan Data, Bukan Janji
Keluarkan siaran pers resmi yang didukung data legal: nomor sertifikat, peta HGU atau HPL, dan dokumen pendukung lainnya.
Jangan cuma bilang “lahan kami sah” tanpa bukti. Publik butuh fakta, bukan retorika.
C. Banjiri dengan Berita Positif
Ketika isu negatif sudah menyebar, jangan cuma membela diri. Sebarkan juga narasi positif: kontribusi perusahaan, program CSR yang berdampak, dan prestasi lainnya.
Ini bukan soal menutupi masalah, tapi memberikan gambaran yang seimbang.
Belajar dari yang Lebih Baik
BUMN lain sudah membuktikan bahwa manajemen krisis yang baik itu bisa dilakukan:
A. PT Kereta Api Indonesia (KAI)
Mereka punya sistem monitoring media harian, membangun komunitas pendukung sebagai advocate, dan rutin membanjiri publik dengan siaran pers positif.
Hasilnya? Isu negatif tidak sampai menggerogoti reputasi perusahaan dalam jangka panjang.
B. PT Pertamina
Saat menghadapi krisis besar seperti kebakaran Depo Plumpang, Pertamina menunjukkan komunikasi yang kuat dengan masyarakat dan memberikan pertanggungjawaban yang jelas.
Ini yang namanya manajemen krisis yang bertanggung jawab.
Kesimpulan: Saatnya Berbenah
PTPN 1 harus segera beralih dari komunikasi grassroots yang tidak terstruktur ke komunikasi strategis yang terpusat.
Dipimpin oleh Humas atau Direksi, didukung oleh data legal yang kuat, dan disampaikan oleh orang yang punya otoritas.
Kalau ini tidak dilakukan, yang hilang bukan cuma reputasi sesaat. Good will dan saling pengertian dengan publik fondasi dari PR yang baik akan runtuh.
Dan membangun kembali kepercayaan? Jauh lebih sulit daripada menjaganya sejak awal.
*Penulis: Mahendra Utama, Pemerhati Pembangunan
#KrisisPRBUMN #PTPN1 #ManajemenIsu #PublicRelations #KomunikasiKrisis



