Keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi DPR per 1 September 2025 patut diapresiasi sebagai langkah berani sekaligus refleksi atas dinamika politik Indonesia hari ini.
Dalam siaran pers resmi yang ditandatangani Surya Paloh dan Hermawi Taslim, ditegaskan bahwa aspirasi masyarakat harus tetap menjadi acuan utama perjuangan politik.
Tindakan ini datang di saat kepercayaan publik terhadap DPR berada di titik nadir. Pernyataan kontroversial Sahroni yang menyebut rakyat “tolol” jika ingin membubarkan DPR, serta komentar Nafa Urbach yang dianggap menyinggung sensitivitas publik, telah memicu gelombang kekecewaan yang luas.
Surya Paloh, dengan cepat dan tegas, mengambil keputusan menonaktifkan keduanya. Sikap ini menunjukkan kepemimpinan yang responsif, adaptif, dan berorientasi pada aspirasi rakyat, bukan sekadar kalkulasi politik internal.
Politik yang Berpihak pada Rakyat
Di tengah arus kritik tajam terhadap elite politik, langkah NasDem ini adalah sinyal bahwa partai masih bisa berpihak pada rakyat. Keberanian menindak kader yang populer adalah bentuk tanggung jawab moral.
Surya Paloh ingin menegaskan bahwa partai bukan sekadar kendaraan elektoral, tetapi wadah yang mengemban cita-cita kebangsaan sebagaimana termaktub dalam konstitusi.
Inilah yang seharusnya menjadi teladan bagi partai lain. Partai Amanat Nasional (PAN) misalnya, juga tengah berada di bawah sorotan publik. Beberapa legislatornya, seperti Eko Patrio dan Uya Kuya, dinilai sering mengeluarkan pernyataan yang kurang sensitif terhadap penderitaan rakyat.
Sudah saatnya Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengambil sikap tegas. Bila NasDem berani menonaktifkan kader populer, mengapa PAN tidak melakukan hal serupa untuk meredam kemarahan publik?
Belajar dari Kasus di Negara Lain
Fenomena partai menindak kader atau legislatornya yang memicu kemarahan publik bukanlah hal baru dalam demokrasi. Banyak contoh dari berbagai negara yang menunjukkan bagaimana mekanisme akuntabilitas dijalankan.
- Inggris: Pada 2020, anggota parlemen Partai Konservatif, Rob Roberts, dipecat dari fraksinya setelah terbukti melakukan pelecehan terhadap staf. Partai mengambil langkah cepat untuk menjaga reputasi dan kepercayaan rakyat.
- Kanada: Dua anggota parlemen dari Partai Liberal pada 2015 dikeluarkan setelah terbukti melakukan pelecehan terhadap sesama legislator. Perdana Menteri Justin Trudeau kala itu menegaskan bahwa partainya tidak bisa menoleransi perilaku yang mencederai integritas demokrasi.
- Jepang: Pada 2023, seorang anggota parlemen dari Partai Demokrat Liberal mundur setelah komentarnya soal perempuan dianggap merendahkan. Tekanan publik memaksa partai untuk segera mengakhiri karier politiknya.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa di negara-negara dengan demokrasi mapan, partai politik tidak segan mengambil langkah cepat demi menjaga kepercayaan publik. Kredibilitas institusi lebih diutamakan daripada melindungi individu.
Menjaga Marwah Politik
Tindakan Partai NasDem harus dipandang sebagai momentum penting. Politik adalah ruang pengabdian, bukan sekadar panggung popularitas. Jika rakyat marah, partai dituntut untuk mendengar dan bertindak.
Mengabaikan suara rakyat hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan, yang pada akhirnya merugikan demokrasi itu sendiri.
NasDem telah menunjukkan jalan. Kini, bola ada di tangan partai-partai lain, khususnya PAN di bawah Zulkifli Hasan.
Publik menunggu: apakah PAN berani menindak kadernya yang menuai kemarahan publik, atau justru memilih berdiam diri di tengah gelombang kritik?
Baca juga:
* Untuk Affan Kurniawan, Yang Terbaring di Aspal Jakarta
—
*Penulis: Mahendra Utama, Eksponen 1998
Sumber Data
- Siaran Pers DPP Partai NasDem, 31 Agustus 2025.
- Detik News, “NasDem Nonaktifkan Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR”
- Metrotvnews.com, “NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR”
- Bisnis.com, “Surya Paloh Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi NasDem di DPR”
- BBC News, The Guardian, CBC News (arsip pemberitaan terkait pemecatan legislator Inggris, Kanada, dan Jepang).