Ada harapan besar yang tersimpan di benak para penyuluh kehutanan yang mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) di Bandar Lampung pertengahan Agustus ini: agar seluruh kelompok perhutanan sosial (KPS) di Provinsi Lampung bisa lebih aktif menyusun Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS), serta membangun dan mengelola Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) secara mandiri dan berkelanjutan.
“Kalau kelompok tidak aktif menyusun RKPS, program kita jadi ngambang di lapangan,” ujar seorang penyuluh di sela-sela acara Bimtek. Bagi mereka, RKPS adalah peta jalan yang menentukan arah kegiatan dan keberhasilan pendampingan.
Jacky Michael Pah, salah satu penyuluh kehutanan dari KPH Pesawaran, menambahkan bahwa KUPS juga tak boleh hanya berhenti di atas kertas.
“Sudah banyak kelompok yang punya KUPS, tapi belum semuanya bergerak. Padahal, kalau KUPS jalan, masyarakat bisa hidup dari hasil hutan secara nyata,” katanya.
Menurutnya, kemandirian kelompok tak cukup hanya dari legalitas izin, tetapi harus diiringi dengan produktivitas dan inisiatif usaha.
Harapan-harapan itu disampaikan dalam Bimtek yang digelar oleh Balai Perhutanan Sosial (PS) Palembang pada 13–14 Agustus 2025, bertempat di Hotel Santika Premiere, Bandar Lampung.
Sebanyak 95 penyuluh dari seluruh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Lampung mengikuti pelatihan ini, yang memfokuskan pada penguatan RKPS dan peningkatan kapasitas pengembangan KUPS.
Ketimpangan Rasio dan Jalan Menuju Solusi
Provinsi Lampung memiliki 408 KPS dengan sekitar 993 KUPS. Namun, jumlah pendamping hanya 95 orang. Itu berarti, satu penyuluh harus menangani setidaknya empat kelompok sekaligus—sebuah tantangan besar dalam pendampingan yang idealnya bersifat intensif dan partisipatif.
“Rasio ini memang tidak ideal,” kata Ismed Syahbani, Kepala Seksi Wilayah II Balai PS Palembang.
“Solusinya, kita bisa mendorong kolaborasi dengan NGO, universitas, dan mitra lain untuk memperkuat pendampingan secara mandiri,” ia menambahkan.
Ismed menjelaskan bahwa pendekatan baru kini difokuskan pada pemberdayaan penyuluh agar mampu mencetak kader swadaya dari dalam kelompok itu sendiri.
“Jangan sampai kelompok hanya tergantung pada penyuluh formal. Kita harus lahirkan pemimpin dari internal mereka,” ujarnya.
Fokus RKPS dan Peningkatan Kelas KUPS
Bimtek tahun ini memfokuskan pada dua aspek utama: penyusunan RKPS dan peningkatan kelas KUPS. Dalam sistem klasifikasi, KUPS dibagi dalam empat level: blue, silver, gold, dan platinum. Namun belum semua KUPS di Lampung bisa naik kelas. Banyak yang stagnan atau bahkan tidak aktif.
“Kami ingin para pendamping bisa mendorong kelompok agar meningkatkan kelasnya. Dari silver naik ke gold, atau dari gold ke platinum,” jelas Ismed.
“Kami juga melakukan sosialisasi dan akan memfasilitasi dalam hal menyusun Dokumen Usulan Penandaan Batas Sederhana bagi Persetujuan Perhutanan Sosial, penyusunan RKPS dan RKT, serta pembentukan dan pengembangan KUPS,” papar Ismed.
Para peserta juga dibekali pemahaman praktis melalui materi seperti pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu, ekowisata, hingga penggunaan aplikasi GoPendamping dan GoKUPS—platform digital untuk membantu pelaporan dan pemetaan kegiatan kelompok.
Baca juga:
* Menjaga Asa Pasca RHL: Saat Pohon dan Kelembagaan Harus Sama-sama Tumbuh
Langkah Lampung yang Diapresiasi Nasional

Lampung bukan tanpa prestasi, kelompok PS Provinsi ini pernah meraih peringkat pertama di tingkat nasional dalam nilai transaksi ekonomi pada tahun 2022 dan 2023.. Selain itu, dukungan pemerintah daerah terhadap program Integrated Area Development (IAD) memperkuat ekosistem perhutanan sosial yang berkelanjutan.
“Kita sudah punya dua kabupaten yang menerapkan IAD, yaitu Lampung Selatan dan Pesawaran. Tahun ini mungkin bisa bertambah dua lagi: Lampung Barat dan Lampung Tengah yang sedang berproses,” jelas Ismed.
Dukungan ini memberi ruang bagi kelompok untuk berkembang secara ekonomi tanpa meninggalkan fungsi ekologis hutan.
Mengawal Kemandirian, Bukan Sekadar Memberi Izin
Semangat dari bimtek ini jelas: perhutanan sosial bukan sekadar memberi izin kelola. Lebih dari itu, bagaimana kelompok bisa hidup dari hutan dengan cara yang lestari, mandiri, dan bermartabat.
Para penyuluh adalah ujung tombak. Tapi ujung tombak tidak bisa bekerja sendiri. Mereka butuh sistem pendukung, alat kerja yang tepat, dan mitra strategis di lapangan.
Keberhasilan PS di Lampung tidak boleh berhenti pada angka atau status legalitas. Yang dikejar bukan sekadar banyaknya SK, tapi kualitas kehidupan masyarakat yang terlibat di dalamnya. RKPS dan KUPS yang aktif adalah fondasi dari semua itu.
Dari Bimtek ke Aksi Nyata
Bimtek ini bukan sekadar agenda pelatihan, tetapi titik awal untuk transformasi pendekatan pendampingan di Lampung. Jika 95 penyuluh yang hadir mampu melahirkan kader-kader lokal dari tiap kelompok, maka mimpi tentang kemandirian KPS bukan lagi angan.
Dan jika RKPS benar-benar menjadi peta jalan yang dibuat bersama, serta KUPS dikelola sebagai usaha riil yang tumbuh dari potensi lokal, maka hutan akan menjadi rumah yang memberi hidup—bukan hanya selembar izin di atas kertas.
“Harapannya dengan adanya bimtek ini, para pendamping bisa mendorong Kelompok Perhutanan Sosial untuk lebih kreatif dan maju. Yang mungkin selama ini hanya andalkan satu komoditas, bisa coba komoditas lain,” kata Ismed.
“Para pendamping harus bisa bantu analisa potensi apa saja yang ada di kelompok. Pendamping tak cukup hanya bantu membentuk, tapi juga harus terus mendampingi hingga KUPS mandiri,” pungkasnya.