Guru Ngamuk di Pesawaran: Refleksi Krisis Kompetensi dan Perlunya Sistem Perlindungan Edukasi

Guru Ngamuk di Pesawaran - Refleksi Krisis Kompetensi dan Perlunya Sistem Perlindungan Edukasi
Mahendra Utama. (Foto arsip pribadi)

Peristiwa seorang guru di Kabupaten Pesawaran, Lampung, yang mengamuk dan mengancam mencekik murid saat upacara bendera pada Juli 2025, bukan hanya tamparan bagi dunia pendidikan, tetapi juga cermin dari kompleksnya masalah yang menggerogoti sistem edukasi kita.

Video viral yang memperlihatkan Harmini (inisial H), guru SDN 5 Kedondong, berteriak dan mengancam siswa dengan kalimat, “Kalo enggak saya cekek ini!” menyisakan pertanyaan mendasar: Bagaimana seorang guru bisa kehilangan kendali hingga mengabaikan martabat profesi yang diembannya?

Read More

Fakta Kasus dan Pola Kelainan Perilaku

Berdasarkan investigasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Pesawaran, Harmini bukan kali pertama menunjukkan perilaku menyimpang.

Pada Februari 2025, ia pernah dilaporkan karena merokok di dalam kelas dan mengenakan celana pendek saat mengajar.

Pihak sekolah bahkan telah memberlakukan pengawasan ketat setelah insiden pertama, tetapi perubahan sikapnya hanya bersifat sementara.

Insiden terbaru ini menunjukkan bahwa masalahnya lebih dalam dari sekadar pelanggaran disiplin biasa—ia diduga mengalami gangguan jiwa yang tidak terdiagnosis dan tertangani dengan baik .

Konteks Regional: Apakah Ini Isolatif atau Sistemik?

Meskipun kasus ini terjadi di Pesawaran, pertanyaan penting adalah: Apakah fenomena serupa terjadi di kabupaten lain di Lampung?

Data dari Disdikbud Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa video kekerasan guru lainnya yang beredar bukan berasal dari wilayahnya, melainkan diduga dari Tanggamus.

Namun, ini tidak berarti masalah terisolasi. Komisioner KPAI (2021) mencatat bahwa guru mendominasi sebagai pelaku kekerasan di satuan pendidikan, dengan 55,5% kasus melibatkan guru sebagai predator seksual maupun non-seksual.

Di Lampung, selain Pesawaran, belum ada laporan kasus serupa yang viral, tetapi kerentanan sistemik di tingkat nasional mengindikasikan bahwa masalah seperti ini berpotensi terjadi di mana pun, terutama di daerah dengan pengawasan lemah dan beban kerja guru tinggi.

Akar Masalah: Gangguan Mental, Beban Kerja, dan Absennya Pengawasan

Harmini diduga mengalami depresi dan gangguan jiwa. Ini mengingatkan kita pada pentingnya kesehatan mental guru yang sering diabaikan.

Guru honorer seperti Harmini (berstatus non-ASN) kerap menghadapi beban ganda: tuntutan kurikulum, tekanan ekonomi, dan minimnya dukungan psikologis.

Studi Sonedi (2016) menyebutkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan berkorelasi langsung dengan kompetensi profesional mereka. Jika kepala sekolah lalai menciptakan iklim kerja sehat, guru rentan stres dan kehilangan kendali.

Selain itu, sistem pengawasan di daerah terpencil seperti Pesawaran masih lemah. Inspektorat setempat telah menonaktifkan Harmini, tetapi tindakan ini baru dilakukan setelah kejadian berulang.

Padahal, Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan mewajibkan sekolah memiliki mekanisme deteksi dini dan pelaporan. Sayangnya, sosialisasi peraturan ini masih minim, bahkan banyak sekolah yang tidak tahu keberadaannya .

Solusi: Perlindungan Guru dan Murid Harus Berjalan Beriringan

Untuk mencegah terulangnya kasus seperti di Pesawaran, langkah-langkah berikut perlu dipertimbangkan:

  1. Screening Kesehatan Mental dan Pelatihan Kompetensi Emosional
    Setiap guru, terutama honorer, harus menjalani pemeriksaan kesehatan mental berkala. Disdikbud perlu berkolaborasi dengan dinas kesehatan untuk menyediakan layanan konseling gratis. Pelatihan kompetensi sosial dan kepribadian—sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen—harus diintensifkan.
  2. Penguatan Kepemimpinan Kepala Sekolah
    Kepala sekolah harus menjadi “guardian” yang memastikan iklim kerja sehat dan mendeteksi perilaku menyimpang sejak dini. Studi menunjukkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah berkorelasi positif dengan kompetensi guru.
  3. Mekanisme Pelaporan dan Penanganan Kekerasan yang Efektif
    Portal pengaduan kekerasan di satuan pendidikan harus mudah diakses oleh siswa, orang tua, dan guru. Satuan pendidikan wajib melapor ke polisi jika terjadi kekerasan, tetapi juga mengutamakan pendekatan restoratif untuk konflik non-kriminal.
  4. Revitalisasi Peran Inspektorat Daerah
    Inspektorat tidak boleh hanya bertindak setelah kasus viral. Audit berkala terhadap perilaku guru dan kondisi sekolah harus dilakukan, terutama di daerah terpencil.

Kesimpulan: Jangan Jadikan Guru sebagai Tersangka Tunggal

Harmini adalah korban dari sistem yang gagal melindungi guru dan murid secara simultan. Dia perlu dihukum karena kelakuannya, tetapi juga dipulihkan secara psikologis.

Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah di Lampung—dan Indonesia secara luas—untuk memperkuat sistem pendukung guru, terutama dalam hal kesehatan mental dan pengawasan.

Jika tidak, kita hanya akan melihat lebih banyak “Harmini-Harmini” lain yang jatuh karena beban yang tak tertanggungkan.

*Penulis Mahendra Utama

Baca juga:
* Pengangguran dan Ancaman Sosial di Lampung

Sumber Data:

  1. Detik.com – Guru SD di Lampung Ingin Cekik Murid karena Kesal Rekannya Jarang Ikut Upacara
  2. Jendela Kemdikbud – Kasus Kekerasan Terhadap Guru: Mengapa Terjadi?
  3. Prioritastv.com – Viral, Oknum Guru di Lampung Diduga Hampir Cekik Siswa
  4. Journal.umpr.ac.id – Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Sikap Guru Terhadap Pekerjaan
  5. Medialampung.co.id – Disdikbud Pastikan Video Viral Siswa SD Dimarahi Guru Bukan di Bandar Lampung
  6. BBC.com – Guru Supriyani divonis bebas pada peringatan Hari Guru
  7. Lappung.com – Ulah Guru di Pesawaran Lampung, Ngamuk dan Ancam Cekik Anak-anak
  8. Voaindonesia.com – KPAI: Guru Mendominasi Pelaku Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan
---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *