Produksi kakao rakyat Lampung pada 2023 mencapai 45.638 ton dengan luas areal sekitar 76.600 hektare. Angka itu menempatkan Lampung sebagai salah satu sentra kakao nasional, sejajar dengan komoditas kopi yang selama ini lebih dikenal publik.
Dari total tersebut, Kabupaten Tanggamus, terutama Kecamatan Bulok, tercatat sebagai salah satu lumbung utama. Di Pekon Suka Agung, lahan kering luas dimanfaatkan warga untuk budidaya kakao sejak 1998.
Namun, cerita kakao Tanggamus kini tidak berhenti di biji mentah. Melalui program hilirisasi, petani mulai mengolah kakao menjadi produk olahan premium yang menyasar pasar menengah ke atas.
Program Pengabdian Polinela
Momentum itu datang lewat kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri Lampung (Polinela) pada Sabtu, 23 Agustus 2025.
Kegiatan bertajuk “Pemberdayaan Masyarakat melalui Diversifikasi Pengolahan dan Penguatan Branding Produk Hilir Kakao di Desa Suka Agung Bulok Tanggamus” dipimpin oleh Dayang Berliana, Sp., M.Si, bersama tim akademisi: Dr. Analianasari, S.T.P., M.T.A, Kurnia Rimadhanti Ningtyas, S.T.P., M.Sc, Fadila Margasaty, S.Si, M.Si, dan Rima Maulini, S.Kom., M.Kom.
Mereka mendampingi Kelompok Tani Suka Agung 5, yang dipimpin Nasrudin, untuk mengembangkan pengolahan kakao.
Kelompok ini sebenarnya sudah memiliki modal awal berupa peralatan hasil hibah Dana Aspirasi pada 2020, di antaranya mesin roasting, mesin desheller, mesin pasta kakao, pres lemak, penghancur bubuk, dan mesin pengayak.
Selama beberapa tahun, peralatan itu hanya dipakai terbatas untuk menghasilkan bubuk cokelat dan lemak kakao dengan merek KiHaKo Cokelat. Hilirisasi pun berjalan setengah hati, padahal bahan baku tersedia melimpah.
Diversifikasi: Pralin dan Cokelat Bubuk Premium
Polinela melihat potensi besar di desa ini. Pendampingan difokuskan pada diversifikasi produk, terutama pembuatan cokelat pralin dan pengembangan bubuk cokelat dengan tambahan susu, gula, serta perekat.
“Cokelat Pralin punya prospek besar di pasar domestik. Pralin merupakan bisa dikombinasikan dengan isian beragam, seperti kacang, buah kering, karamel, hingga pasta kopi atau rempah,” jelas Dr. Analianasari, yang langsung mendampingi proses produksi.
“Keunggulan utama pralin terletak pada variasi rasa, tampilan menarik, dan kesan mewah. Sehingga mampu menyasar segmen konsumen menengah ke atas yang terus tumbuh seiring dengan meningkatnya daya beli dan gaya hidup masyarakat modern,” imbuhnya.
Di Suka Agung, pralin dikembangkan dengan sentuhan lokal: kopi Lampung, jahe, pala, hingga sale pisang dan keripik pisang. Kombinasi itu memberi identitas khas yang membedakan dari produk massal pabrikan.
Bagi konsumen, pralin bukan sekadar kudapan manis, tetapi juga pengalaman rasa yang berlapis. Bagi petani, produk ini menjadi jalan untuk melipatgandakan nilai ekonomi.
Harga biji kakao mentah hanya dihargai puluhan ribu rupiah per kilogram, sementara pralin bisa dipasarkan dengan nilai berkali lipat lebih tinggi.
Hilirisasi dan Dampak Ekonomi
Dalam kesempatan yang sama Dayang Berliana menekankan bahwa, hilirisasi bukan hanya soal produk, tetapi juga soal rantai nilai. Dengan mengolah sendiri, petani memperoleh kendali lebih besar atas harga dan pasar.
Dari sisi ekonomi, hilirisasi kakao di Tanggamus membuka peluang usaha baru, mulai dari pengrajin cokelat, pemasok bahan tambahan, pelaku UMKM, hingga sektor pariwisata kuliner.
Produk pralin misalnya, sangat potensial dipasarkan sebagai souvenir khas daerah, dipajang di pusat oleh-oleh, hotel, restoran, dan bahkan masuk ke pasar ekspor niche.
“Diversifikasi membuka rantai usaha baru dan mengangkat peran petani dari sekadar pemasok bahan mentah menjadi produsen dengan nilai tambah tinggi,” ujar Dayang Berliana.
Tantangan: Keterbatasan Alat
Meski peluang terbuka, tantangan masih ada. Kelompok Tani Suka Agung 5 baru bisa menghasilkan bubuk cokelat dan pralin.
Untuk naik ke level berikutnya—memproduksi cokelat batang single origin khas Lampung—mereka membutuhkan tambahan alat berupa ball mill 3 in 1 yang mampu melakukan proses mixing, grinding, dan conching.
“Kami berharap ada dukungan dari pemerintah provinsi. Dengan ball mill, kami bisa mengangkat cokelat Bulok sebagai produk single origin cokelat Lampung,” ungkap Nasrudin.
Dari Desa untuk Pasar Lebih Luas
Dengan produksi kakao rakyat Lampung yang mencapai 45.638 ton per tahun, hilirisasi menjadi langkah strategis.
Dari tangan petani di Tanggamus, lahir pralin dan bubuk cokelat premium yang tidak hanya menambah nilai ekonomi, tetapi juga membuka jalan bagi kebangkitan cokelat lokal di pasar nasional dan internasional.