Di bawah langit biru bulan Agustus, ribuan warga Desa Pasuruan, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, menyulam makna kemerdekaan lewat langkah kaki dan helai bendera.
Tak sekadar perayaan, ini adalah persembahan jiwa bagi Indonesia: kirab estafet bendera Merah Putih sepanjang 80 meter, yang dijahit sendiri oleh tangan-tangan rakyat.
Tak ada gegap gempita drumband, tidak ada deru kendaraan hias. Bermodal semangat bersahaja, bersumber dari hati dan cinta tanah air yang tak lekang zaman.
Di sebelah Timur Kalianda dan Timur Laut puncak Gunung Rajabasa, 17 Agustus menjadi napas perjuangan yang diwariskan turun-temurun, bukan sekadar hari libur nasional.
Bendera Itu Dijahit Bersama
Sebelum sang Merah Putih diarak mengelilingi delapan dusun sejauh enam kilometer, bendera ini lebih dulu ditenun oleh kebersamaan.
Setiap helai jahitan adalah simpul gotong royong warga Pasuruan, yang saban bulan Agustus berkumpul untuk menjahit bendera merah putih sepanjang 80 meter itu.
Mereka tak memesan pada konveksi, tak pula menunggu kiriman dari pusat. Sebab bagi mereka, cinta tanah air adalah pekerjaan tangan sendiri.
Estafet Kemerdekaan, Dari Dusun Banyumas ke Dusun Pasuruan Bawah

Kirab dimulai dari batas Dusun Banyumas, melewati Sumber Sari, Jatisari, Jatirejo, Jatibening, Pasuruan Atas, Sendangsari, hingga kembali ke Pasuruan Bawah.
Bukan sekadar rute; jalur ini menjadi semacam coretan di atas kanvas, tempat rakyat menorehkan rasa bangga menjadi orang Indonesia.
“Alhamdulillah tahun ini jauh lebih meriah dari sebelumnya. Warga dari tiap dusun ikut serta, bahkan berjalan kaki mengarak bendera sepanjang delapan puluh meter. Mengelilingi dusun se-Desa Pasuruan sejauh enam kilometer,” ujar Kepala Desa Pasuruan, Sumali, Sabtu (17/8/2025).
Wajah-wajah penuh senyum menyemut di sepanjang jalan. Anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga para lansia turut melangkah bersama, mengenakan pakaian adat, kebaya merah putih, seragam sekolah, bahkan baju plastik hasil kreativitas sendiri.
Bendera yang Menyimpan Budaya dan Doa
Kirab ini bukan hanya parade. Ia adalah pernyataan kebudayaan. Di tengah arak-arakan, warga membawa hasil bumi dari ladang dan kebun, sebagai simbol bahwa tanah ini diberkahi dan dijaga oleh para petani yang tulus.
Lagu-lagu perjuangan bergema dari mulut warga sepanjang jalan. Indonesia Raya, Hari Merdeka, hingga Syukur dinyanyikan tanpa pengeras suara—cukup dari dada yang penuh cinta tanah air.
Ada nilai nasionalisme, adat, dan budaya yang tergambar dalam kirab ini. Semua warga tersentuh, bergerak dari hati.
Tanpa paksaan, mereka memilih mengenakan pakaian adat, membawa hasil panen, dan menyanyikan lagu kebangsaan dari titik awal sampai titik finis.
Tradisi yang Terus Dihidupkan

Tradisi kirab bendera ini bukan hal baru. Dimulai sejak HUT RI ke-73, kini kegiatan ini tumbuh menjadi napas kolektif masyarakat Pasuruan.
Dua tahun terakhir, kirab estafet delapan dusun terus digelar dengan semangat yang semakin membuncah.
“InshaAllah akan terus dilaksanakan setiap tahun. Panjang bendera pun akan ditambah sesuai usia kemerdekaan. Ini adalah cara kami menjaga ingatan tentang para pejuang,” ungkap tokoh masyarakat, Sugeng.
Tak hanya itu, doorprize menarik juga disiapkan bagi peserta kirab. Kupon dibagikan sepanjang perjalanan dan diundi di Dusun Sumber Sari usai bendera diserahkan.
Baca juga:
* 3 Kades di Jati Agung Lamsel Bangun Jalan Cor Mandiri
Merdeka di Tanah Sendiri
Di desa ini, kemerdekaan bukan sekadar kata. Ia hidup dalam langkah kaki warga yang setia mengarak bendera merah putih.
Ia tumbuh di ladang dan sawah, dalam nyanyian ibu-ibu, dan gelak tawa anak-anak yang mengejar ujung bendera merah putih.
Di Desa Pasuruan, Penengahan, Lampung Selatan, Merdeka berarti bersama. Dan selama semangat itu masih dijaga, Indonesia akan selalu hidup di dada rakyatnya.