Dari perhutanan sosial di Kabupaten Pesawaran, sebotol kecil minyak kemiri kini tak lagi sekadar ramuan tradisional. Ia telah menjelma menjadi Natural Hair Growth Oil—berkemasan modern, beraroma lembut, dan dijual hingga lima kali lipat lebih mahal dibanding harga sebelumnya.
Harga satu botolnya? Rp100 ribu. Padahal, dulunya hanya dihargai Rp20 ribu.
Transformasi kecil ini—yang terjadi di tengah hutan dan di tangan petani biasa—menjadi bukti besar bahwa hilirisasi bukan hanya jargon.
Ini adalah kenyataan yang sedang diperjuangkan oleh Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, atau yang akrab disapa Yay Mirza.
Gubernur Mirza mengapresiasi upaya kelompok tani hutan (KTH) dalam mengembangkan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) menjadi produk bernilai tinggi dan siap jual.
Selama ini, perhutanan sosial di provinsi lampung telah menghasilkan produk-produk UMKM, produk-produk yang bisa dijual ke masyarakat.
Dalam sebuah video yang diunggah, Gubernur Mirza menyampaikan bahwa minyak kemiri dari Pesawaran yang semula dijual Rp20 ribu kini telah diolah dan dikemas menjadi produk berkualitas tinggi.
“Natural Hair Growth Oil, harganya bisa jadi Rp100 ribu, lima kali lipat. Juga ada shampoo, diberikan nilai tambah, harganya jadi Rp150 ribu,” ujar dia.
Petani Tak Lagi Jadi Penonton
Perubahan itu tidak datang begitu saja. Ini adalah hasil dari gerakan yang lebih besar: hilirisasi hasil hutan bukan kayu (HHBK)—sebuah strategi yang mengubah pola pikir petani dari penjual bahan mentah menjadi pelaku industri kecil di desa.
Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) di berbagai kabupaten Lampung kini bukan lagi sekadar penonton dalam rantai pasok industri. Mereka mulai mengolah hasil hutannya sendiri. Mereka mulai belajar kemasan, branding, pemasaran digital, bahkan sertifikasi halal dan uji laboratorium.
“Perhutanan sosial telah menggerakkan ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Hal ini terbukti dari tingginya nilai transaksi ekonomi KTH yang berhasil dicatat, yaitu lebih dari Rp200 juta per tahun,” kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah.
Namun angka itu, kata Yanyan, diyakini masih jauh di bawah potensi sebenarnya.
“Masih banyak transaksi yang belum tercatat. Untuk meningkatkan pendapatan petani, upaya hilirisasi menjadi faktor penting agar nilai jual HHBK meningkat, petani lebih sejahtera, dan fungsi hutan bisa pulih,” imbuhnya.
Yang dulunya hanya memanen, kini mulai memproduksi. Yang dulunya hanya menjual ke tengkulak, kini membuka lapak sendiri—di pasar lokal, di media sosial, bahkan di pameran nasional.
Dari Hutan Menuju Pasar Global
Langkah ini adalah bagian dari visi besar Pemprov Lampung di bawah kepemimpinan Mirza dan Wakil Gubernur Jihan Nurlela: mendorong hilirisasi dan industrialisasi berbasis desa.
Petani tidak boleh terus-terusan hanya menjual bahan mentah. Kita ingin mereka menjadi bagian dari rantai industri. Petani untung, desa tumbuh, ekonomi Lampung melesat.
Dengan dukungan pelatihan, akses pembiayaan, dan kemitraan, hilirisasi di sektor perhutanan sosial kini membuka harapan baru. Bahwa dari desa-desa kecil di sekitar hutan, bisa lahir produk-produk unggulan yang punya tempat di pasar global.
Dan semuanya dimulai dari satu botol kecil minyak kemiri.