Aroma bunga kopi menyambut langkah para petugas Dinas Kehutanan Provinsi Lampung yang melakukan patroli menyusuri Hutan Lindung Register 30 di lereng Gunung Tanggamus, Kamis pagi, 31 Juli 2025.
Pepohonan kopi tumbuh berdampingan dengan cempaka (Magnolia champaca), medang (Phoebe sp.), surian atau rimau (Toona sureni), sonokeling (Dalbergia latifolia), serta berbagai tanaman kayu lainnya.
Di tengah kerimbunan vegetasi tersebut, para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Gondang Wana Lestari 1 tengah bersiap menapaki babak baru: pengajuan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUP-HKm).
“Kami berharap setelah terbitnya izin HKm nanti, kelompok kami bisa lebih leluasa mengelola hutan secara legal. Tapi sambil menunggu, kami tetap aktif menjaga kawasan agar tidak rusak,” ujar Suherman, Ketua KTH Gondang Wana Lestari 1.
Pernyataan tersebut mencerminkan semangat kolektif kelompok dalam menjaga kelestarian hutan, bahkan sebelum kepastian legal formal didapatkan.
Kabid Perlindungan dan Konservasi Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Zulhaidir, menerangkan, KTH ini telah mengajukan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUP-HKm) dan tengah menunggu proses verifikasi dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
Adapun tujuh KTH lain yang juga mengajukan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan, antara lain; KTH Gondang Wana Lestari 2, KTH Plang Hijau Lestari 1, KTH Plang Hijau Lestari 2, Pule Wana Lestari, Seribu Satu Barat, Seribu Satu Jaya Lestari, dan Seribu Satu Bawah.
“Delapan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Barokah Jaya ini mengelola lahan seluas sekitar 350 hektare di kawasan Hutan Lindung Register 30,” terang Zulhaidir.
Dengan jumlah anggota mencapai 438 orang, mereka berharap dapat segera mendapat pengakuan legal atas wilayah kelolanya.
“Hal yang menyenangkan bagi saya ketika tugas ke lapangan adalah bisa bertemu dengan para kelompok tani hutan,” kata Zulhaidir.
“Mendengarkan cerita dan tantangan mereka di lapangan menjadi bahan penting dalam merumuskan arah kebijakan kehutanan ke depan,” ujarnya.
Zulhaidir menyebutkan bahwa meskipun Gapoktan telah terbentuk sejak setahun lalu dengan pendampingan awal dari LSM lokal, kini proses pengajuan izin sepenuhnya dilanjutkan oleh UPTD-KPH Kotaagung Utara.
Salah satu langkah strategis yang telah dilakukan adalah memfasilitasi peta persil garapan masing-masing anggota, untuk menghindari konflik tumpang tindih dan menjaga transparansi dalam pengelolaan lahan.
Prakondisi: Fondasi Menuju Izin HKm
Dalam arahannya, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah, menegaskan bahwa proses pengajuan IUP-HKm tidak cukup hanya dengan menunggu verifikasi dari kementerian.
Menurut Yanyan, Gapoktan harus terus bergerak melengkapi dokumen-dokumen kelembagaan, seperti AD/ART, rencana pengelolaan, hingga dokumen pendukung teknis lainnya.
“Toh kelompok telah teregistrasi, jadi apapun bentuknya, kelompok sudah menjadi bagian dari KPH dalam mengelola kawasan hutan. Semua proses berkelompok tani harus tetap dilaksanakan,” kata Yanyan saat mendampingi tim patroli, sekaligus melakukan pembinaan.
Menurutnya, prakondisi merupakan tahapan krusial yang menentukan berhasil tidaknya implementasi skema HKm di lapangan. Tanpa dasar sosial, kelembagaan, dan teknis yang kuat, izin yang keluar justru berpotensi memunculkan konflik baru atau mandek di tengah jalan.
Yanyan menambahkan, ada empat hal utama dalam prakondisi yang harus dipenuhi: Penguatan kelembagaan KTH, Kepastian lokasi garapan dan batas wilayah, Komitmen dan penyadartahuan anggota, Dukungan pemerintah desa serta pemangku kepentingan lainnya.
Mengajak Perempuan, Menjaga Komitmen
Yanyan juga menyoroti pentingnya kesetaraan dalam struktur kelembagaan. Dalam kunjungan itu, ia mencermati bahwa seluruh pengurus KTH Gondang Wana Lestari 1 masih didominasi laki-laki.
Ia pun mendorong kelompok untuk mengikutsertakan Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam struktur dan aktivitas kelompok.
Di sisi lain, praktik perlindungan kawasan juga telah mulai dibangun. Dalam struktur organisasi KTH, sudah terdapat Bidang Kelola Kawasan, yang menjadi indikator awal adanya komitmen kelompok terhadap fungsi ekologis hutan.
Jalan Panjang Perhutanan Sosial
Skema HKm bukan hanya soal izin. Ini adalah pengakuan negara atas hak kelola masyarakat yang selama puluhan tahun hidup berdampingan dengan hutan. Namun mewujudkan itu tidak mudah. Dibutuhkan waktu, konsistensi, dan pendampingan yang berkelanjutan.
“Pendampingan kelompok tidak akan optimal jika dilakukan hanya dalam waktu setahun atau dua tahun, pendampingan harus melekat selama berdirinya gapoktan,” tegas Yanyan.
Baca juga:
* RUMAH PETAni, Terobosan Digital Petani Hutan di Register 31 Lampung
Ia berharap, pembinaan dari Dinas Kehutanan ini bisa menjadi pemicu agar UPTD KPH setempat dan lembaga lain ikut memperkuat proses prakondisi. Apalagi, dokumen penting seperti peta usulan areal, berita acara kesepakatan, dan proposal permohonan IUP-HKm, sangat bergantung pada pendampingan teknis sejak awal.
“Kami akan terus mendorong percepatan penerbitan IUP-HKm dari kementerian,” kata Yanyan.
“Tapi di sisi lain, kelompok juga harus konsolidasi, perkuat sinergi dengan semua pihak terkait, dan siapkan diri untuk mengelola kawasan secara bertanggung jawab,” tutupnya.
Bagi Suherman dan rekan-rekannya, proses menuju legalitas bukan semata soal izin. Bagi mereka, yang terpenting bukan hanya izin, tapi bagaimana hutan tetap lestari dan menjadi sumber penghidupan yang sah dan berkelanjutan