Komoditas kakao memegang peran penting dalam perekonomian domestik sekaligus sumber devisa negara. Indonesia kini menempati peringkat ke-6 produsen biji kakao terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 590.000–600.000 ton per tahun.
Menariknya, hampir 96 persen produksi tersebut berasal dari perkebunan rakyat yang tersebar di 30 provinsi.
Namun, persoalan muncul di tingkat pascapanen. Sebagian besar petani tidak melakukan fermentasi secara benar. Fermentasi dianggap rumit dan memakan waktu lama, yakni 5–7 hari.
Akibatnya, petani hanya menjemur biji kakao selama 3 hari, lalu langsung menjualnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Praktik ini menyebabkan lebih dari 86 persen biji kakao Indonesia masuk kategori non-fermentasi. Dampaknya serius: harga kakao Indonesia terkena automatic discount sebesar 90–150 dolar AS per ton, atau sekitar 10–15 persen dari harga pasar global.
Menjawab tantangan itu, dosen Politeknik Negeri Lampung (Polinela) melakukan penelitian dengan pendekatan baru: re-fermentasi biji kakao kering.
Tim yang terdiri dari Dr. Analianasari, S.T.P., M.T.A., Giffary Pramafisi Soeherman, S.T., M.T.P., dan Dayang Berliana, S.P., M.Si. menggunakan biji kakao kering hasil jemur tiga hari sebagai sampel, lalu melakukan re-fermentasi dengan penambahan gula 2,5–10 persen selama 1–3 hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi fermentasi 2–3 hari dengan tambahan gula 5–7,5 persen paling efektif memperbaiki kualitas kakao.
Parameter mutu yang membaik antara lain kadar air, pH, dan indeks fermentasi (FI). Uji belah juga memperlihatkan terbentuknya rongga pada semua biji, yang menandakan proses fermentasi berlangsung.
“Metode re-fermentasi ini memberikan efisiensi waktu, lebih praktis, dan bisa diterapkan petani dengan peralatan sederhana,” jelas Dr. Analianasari.
“Jika diadopsi, Lampung bahkan bisa melahirkan single origin cokelat premium yang siap bersaing di pasar internasional,” imbuhnya.
Meski hasil awal menjanjikan, penelitian ini masih akan dilanjutkan dengan analisis uji senyawa volatil untuk mengetahui komponen bioaktif yang menyumbang aroma dan cita rasa khas cokelat.
Baca juga:
* Hilirisasi Kakao di Bulok Tanggamus: Dari Biji Mentah ke Cokelat Premium
Dengan demikian, teknologi re-fermentasi tidak hanya memperbaiki mutu fisikokimia, tetapi juga meningkatkan profil sensori cokelat Indonesia.
Bagi petani, inovasi ini membuka peluang besar. Fermentasi yang biasanya memakan waktu hingga seminggu kini bisa dipersingkat menjadi 2–3 hari dengan biaya murah.
Hasilnya, petani berpeluang memperoleh harga jual lebih tinggi, sementara industri hilir mendapat pasokan biji kakao berstandar SNI.
Dengan terobosan ini, Polinela menegaskan perannya sebagai pionir inovasi re-fermentasi kakao di Indonesia, sekaligus mendorong pengembangan industri hilir berbasis single origin Lampung.