Gelombang demonstrasi di Asia kembali menguat pada September 2025. Dari Jakarta hingga Kathmandu, dan kini menjalar ke Dili, suara generasi muda menggema menuntut keadilan sosial serta akuntabilitas kekuasaan.
Aksi mahasiswa di Timor Leste pada 15 September—dipicu rencana pembelian 65 unit Toyota Prado bagi anggota parlemen—menjadi bukti bahwa keresahan rakyat tidak lagi mengenal batas negara.
Dari Dili hingga Kathmandu: Nada Kemarahan yang Sama
Mahasiswa Universidade da Paz, Leonito Carvalho, bersuara lantang: “Kami meminta parlemen membatalkan keputusan pembelian Prado. Jika tidak, kami akan tetap berdiri di sini.” Ungkapan ini menggema seperti teriakan generasi Nepal beberapa pekan lalu, ketika Gen Z turun ke jalan melawan gaya hidup mewah elit politik di tengah krisis ekonomi.
Di Dili, kepolisian masih menempuh pendekatan hukum dengan memanggil koordinator aksi. Sementara di Nepal, tentara yang dipimpin Ashok Raj Singdel memilih langkah keras, hingga menelan puluhan korban jiwa. Kontras, namun sama-sama berangkat dari akar masalah: ketidakadilan sosial.
Benang Merah Regional
Jika ditarik garis, ada pola yang mirip di ketiga negara:
1. Generasi muda jadi motor utama – mahasiswa dan Gen Z yang melek digital bergerak cepat.
2. Isu ekonomi dan sosial – dari kemiskinan 40% di Timor Leste, skandal korupsi di Nepal, hingga tuntutan reformasi parlemen di Indonesia.
3. Simbol budaya pop – bendera One Piece diangkat di jalanan Kathmandu, setelah sebelumnya muncul dalam aksi mahasiswa di Jakarta.
Rohan Rai (19), demonstran Nepal, terang-terangan mengaku: “Kami terinspirasi anak muda Indonesia. Kami wajib memberikan kredit kepada mereka.” Namun, seperti diingatkan Nicky Fahrizal (CSIS), konteks lokal tetap menentukan: “Isunya jelas, soal kesenjangan sosial, korupsi, dan kekerasan aparat.”
Respons Pemerintah: Dialog vs Represi
* Pola respon menunjukkan perbedaan tingkat kedewasaan demokrasi:
* Timor Leste: Polisi menembakkan gas air mata, tetapi partai CNRT dan KHUNTO segera menarik dukungan terhadap pembelian Prado.
* Nepal: Represi militer menewaskan 72 orang, memaksa PM Sharma Oli mundur.
* Indonesia: Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mencatat 228 aksi dalam dua pekan terakhir; sebagian ditangani dengan dialog, sebagian lewat jalur hukum.
Menuju Solidaritas Transnasional
Demonstrasi di Timor Leste bukan sekadar tiruan dari Nepal atau Indonesia. Ia lahir dari keresahan lokal, tetapi tumbuh dalam iklim global yang saling menginspirasi. Data membuktikan:
1. Nepal: puluhan ribu demonstran, 72 korban tewas.
2. Indonesia: 10 korban tewas, 2.200 orang ditahan.
3. Timor Leste: sekitar 1.000 orang turun ke jalan, tanpa korban jiwa, tetapi berhasil menekan parlemen hanya dalam hitungan hari.
Artinya, meski skala berbeda, protes ini menunjukkan efektivitas demokrasi: tekanan publik bisa menggoyang kebijakan elitis.
Penutup
Bagi saya, aksi di Dili adalah pengingat: demokrasi tidak pernah selesai. Ia adalah proses panjang yang dihidupi oleh keberanian generasi muda.
Di satu sisi, protes ini menggarisbawahi keresahan atas kemiskinan dan pemborosan anggaran; di sisi lain, ia memperlihatkan bahwa solidaritas lintas negara kian nyata di era digital.
Seperti kata seorang demonstran Nepal: _“Ini bukan hanya tentang larangan media sosial, tetapi frustrasi generasi akibat kegagalan ekonomi dan korupsi.”_ Kalimat itu seakan mewakili wajah Asia hari ini—muda, marah, tapi juga penuh harapan.
*Mahendra Utama, Eksponen 98
Sumber Data:
1. CNN Indonesia (2025) – Laporan Demonstrasi Timor Leste
2. CNBC Indonesia (2025) – Statistik Korban Nepal
3. Bisnis.com (2025) – Analisis Ketimpangan Sosial
4. Wikipedia (2025) – Entri Unjuk Rasa Indonesia dan Nepal
5. Tirto.id (2025) – Studi Komparatif Nepal-Indonesia
#DemoAsia2025 #SuaraGenerasiZ #ReformasiAtauBoom #InspirasiDemo #MahendraUtama