PSEL: Dari Darurat Sampah Menuju Energi Bersih, Pemda Lampung Kuncinya

PSEL Dari Darurat Sampah Menuju Energi Bersih Pemda Lampung Kuncinya - Ridho Iqbal Firdaus Yayasan Boemi dan Kita
PSEL Dari Darurat Sampah Menuju Energi Bersih Pemda Lampung Kuncinya - Ridho Iqbal Firdaus Yayasan Boemi dan Kita. (Foto: arsip pribadi)

Oleh: Ridho Iqbal Firdaus, Direktur Eksekutif Yayasan Boemi dan Kita

Tumpukan sampah di TPA Bakung, Bandar Lampung, pada Desember 2024 lalu akhirnya disegel pemerintah. Bau menyengat, lindi yang merembes ke pemukiman, hingga potensi ledakan gas metana menjadi alarm keras bahwa sistem lama tak lagi sanggup menampung limbah harian warga.

Read More

Krisis ini menegaskan satu hal: pengelolaan sampah bukan sekadar urusan teknis, melainkan pilihan politik keberpihakan. Apakah pemerintah daerah berani menjadi penggerak utama dalam transformasi menuju energi bersih, atau terus menunda hingga bencana ekologis benar-benar terjadi.

Lampung dalam Agenda Nasional

Lampung ditetapkan sebagai salah satu wilayah prioritas dalam agenda pengelolaan sampah nasional. Dari 33 lokasi implementasi PSEL (Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik) di Indonesia, provinsi ini masuk dalam daftar strategis sebagaimana diamanatkan Perpres No. 35 Tahun 2018 dan diperkuat Keppres No. 19 Tahun 2025.

Artinya, persoalan sampah di Lampung bukan sekadar urusan daerah, tetapi bagian dari prioritas pembangunan nasional.

Pengelolaan sampah di provinsi Lampung sudah mencapai titik kritis. Puncaknya, pada Desember 2024, Menteri Lingkungan Hidup bahkan terpaksa menyegel beberapa TPA, seperti TPA Bakung di Kota Bandar Lampung dan TPA Tanjungsari di Lampung Selatan.

Peristiwa ini adalah alarm keras: adopsi PSEL adalah sebuah keharusan, sebagaimana diamanatkan oleh Perpres 35 Tahun 2018 lalu dilanjutkan ke Keppres No.19 Tahun 2025.

Namun, Boemikita berpandangan, untuk mencapai efisiensi, penerimaan masyarakat, dan keberlanjutan, pengelolaan PSEL harus didesentralisasi oleh pemerintah daerah.

Dengan demikian, Gubernur bersama pemerintah kabupaten/kota perlu tampil sebagai leading sector sejati, bukan hanya sebagai penerima mandat, melainkan sebagai perancang solusi yang kokoh dari hulu ke hilir.

Desentralisasi adalah Kunci Efisiensi, Bukan Sentralisasi

Pendekatan sentralisasi seringkali tampak ideal di atas kertas, menjanjikan skala ekonomi raksasa di satu lokasi.

Namun, praktik model ini di lapangan kerap gagal karena dua kendala fatal: biaya logistik yang mencekik dan resistensi komunitas (NIMBY) yang tinggi.

Melalui desentralisasi dan perencanaan geografis yang matang, Pemerintah Daerah dapat mencapai efektivitas maksimal:

  • Meniadakan tipping fee – Desentralisasi meminimalkan biaya angkut, memungkinkan pemerintah memaksimalkan layanan publik tanpa dibebani dengan biaya tambahan pengelolaan yang tinggi.
  • Mengurangi beban TPA dan menerapkan Zero Waste – PSEL mampu mengolah sekitar 365.000 ton sampah per tahun. Sistem pengolahan zero waste yang terintegrasi ini akan meminimalkan residu akhir yang harus dibuang, secara signifikan memperpanjang usia operasional TPA yang tersisa.
  • Efisiensi Logistik dan Lingkungan – Desentralisasi mengurangi jarak tempuh, yang secara langsung memangkas biaya transportasi, mengurangi kemacetan di jalur umum, dan yang terpenting, mencegah pencemaran lingkungan dengan meminimalkan risiko air lindi dan penimbunan gas metana.

PSEL sebagai Aset Energi Strategis

PSEL bukan hanya mengurai gunungan sampah, tetapi juga menghadirkan energi baru yang stabil.

Proyek PSEL skala besar memiliki kapasitas terpasang 20 MW dari pengolahan 1.000 ton sampah per hari. Kapasitas ini setara dengan produksi energi bersih sekitar 480.000 kWh setiap hari, atau total 175.2 Juta kWh per tahun.

Sebagai pembanding, berdasarkan data resmi Open Data Pemerintah Provinsi Lampung, kebutuhan daya listrik Provinsi Lampung pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai 1.621 MW. Kontribusi 20 MW dari PSEL adalah sekitar 1,23% dari total kebutuhan daya.

Angka ini mungkin tampak kecil, namun ini adalah sumber energi bersih yang base-load dan stabil, berfungsi ganda sebagai solusi krisis sampah, mendukung diversifikasi pasokan listrik lokal.

Lebih dari itu, PSEL juga membuka pintu ekonomi baru. Sisa abu pembakaran (Fly Ash dan Bottom Ash) dapat diolah menjadi bahan konstruksi, memperkuat konsep ekonomi sirkular, dan pada akhirnya memberi nilai tambah bagi kas daerah.

Memilih Teknologi, Menentukan Pendanaan

Memilih teknologi pengolahan sampah bukan sekadar soal kapasitas, tetapi juga dampaknya bagi lingkungan dan keberlanjutan energi.

TeknologiKelebihanKekurangan
RDF (Refuse Derived Fuel)Menghasilkan bahan bakar padat dari sampah untuk kebutuhan industri.Hanya 30–35% sampah dapat diolah, sisanya tetap menjadi beban TPA.
BiogasRelatif cepat, memanfaatkan sampah organik yang mudah terurai.Tidak zero waste, emisi gas rumah kaca masih tinggi, dan kapasitas terbatas untuk volume sampah kota besar.
PSEL (Thermal Incinerator Modern)Sampah 100% diolah, menghasilkan listrik 20-24 MW, memenuhi standar emisi Euro 6, dan zero leachate.Membutuhkan investasi awal yang besar, namun hal ini dapat ditutup dengan skema Green Financing.

Di antara berbagai opsi, PSEL berbasis Thermal Incinerator modern terbukti paling komprehensif: mampu mengolah hampir seluruh sampah kota sekaligus menghasilkan listrik bersih.

Tantangannya memang pada kebutuhan modal yang besar. Di sinilah keberanian pemerintah daerah diuji.

Skema pendanaan kreatif—seperti kerja sama pemerintah dengan swasta, investasi asing, hingga kombinasi pembiayaan hijau—bisa menjadi jalan keluar, asalkan dijalankan dengan transparansi dan kepastian hukum.

Tanpa itu, proyek PSEL berisiko berhenti di atas kertas, meninggalkan tumpukan sampah yang kian menekan ruang hidup warga.

Peran Perusda dan Kepemimpinan Daerah

Agar proyek PSEL benar-benar berjalan profesional, peran Perusahaan Daerah (Perusda) menjadi kunci. Entitas ini bisa menggabungkan tanggung jawab publik dengan kelincahan bisnis, sehingga lebih luwes bernegosiasi dengan investor sekaligus menjaga kepentingan masyarakat.

Namun, keberhasilan itu tidak akan terwujud tanpa kepemimpinan politik yang kuat. Gubernur bersama pemerintah kabupaten/kota harus berani tampil di garis depan, mengoordinasikan langkah desentralisasi secara nyata.

Lampung tidak seharusnya hanya menunggu arahan pusat. Daerah ini bisa menjadi motor penggerak PSEL. Lampung hars membuktikan bahwa krisis sampah dapat diubah menjadi peluang energi bersih, sekaligus warisan lingkungan yang lebih sehat bagi generasi mendatang.

Bisa dimulai dari perencanaan yang tepat dan berorientasi pada solusi zero waste terintegrasi.

Baca juga:
* Boemikita Transformasi Sampah Plastik Jadi Peluang Ekonomi Melalui Tali Tafia

Penutup

Lampung kini berada di persimpangan. Di satu sisi, gunungan sampah terus menekan daya dukung lingkungan dan memicu penolakan warga. Di sisi lain, teknologi PSEL membuka peluang menjadikan masalah sebagai sumber energi yang stabil dan berkelanjutan.

Keputusan ada di tangan pemerintah daerah: sekadar menjalankan mandat pusat, atau berdiri di garis depan sebagai motor perubahan. Jika keberanian itu lahir, Lampung bukan hanya membersihkan sampahnya sendiri, tetapi juga memberi teladan nasional tentang bagaimana krisis bisa diubah menjadi cahaya.

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *