Di kancah global, Indonesia dikenal sebagai raksasa produksi tembakau. Tapi ada yang janggal di sini. Bagaimana mungkin sebagai produsen terbesar keempat di dunia, kita justru masih harus impor tembakau dalam jumlah fantastis?
Ini bukan cuma soal angka di atas kertas ini tentang pertanyaan mendasar: seberapa efektif kita mengelola komoditas strategis ini?
Kita Memang Produsen Besar, Tapi…
Data BPS tahun 2024 mencatat produksi daun tembakau nasional kita di tahun 2023 mencapai sekitar 238.800 ton.
Angka ini menempatkan Indonesia menyumbang sekitar 4,2% dari total produksi tembakau dunia. Bukan angka kecil.
Di balik angka-angka itu, ada sekitar 2,3 juta keluarga petani yang hidupnya bergantung pada tanaman ini. Mereka menggarap lahan seluas kurang lebih 200.000 hektare, kebanyakan di pedesaan.
Sofwan Dedy dari DPR bahkan menyoroti betapa ironisnya posisi kita produsen keempat dunia setelah China, India, dan Brasil tapi kok masih impor banyak?
Dari sisi ekonomi, tembakau memang jadi penyumbang besar. Cukai Hasil Tembakau (CHT) saja di 2023 menyumbang Rp 213,48 triliun ke kas negara.
Belum lagi kontribusinya ke PDB yang mencapai 4,22%. Ekspor daun tembakau juga mencatat angka Rp 3,28 triliun. Sekilas, semua terlihat bagus.
Ironi yang Bikin Geleng Kepala
Nah, di sinilah masalahnya. BPS mencatat sepanjang 2023, kita mengimpor 160,1 ribu ton tembakau senilai US$941,3 juta.
China jadi pemasok terbesar dengan 48,71 ribu ton—hampir sepertiga dari total impor kita.
Coba pikirkan: kita produsen nomor empat dunia, tapi harus beli tembakau dari produsen nomor satu.
Ini seperti punya sawah luas tapi beli beras dari tetangga. Ada yang tidak beres di sini.
Kenapa Bisa Begini?
Setelah dicermati, ada beberapa alasan yang bikin kepala pusing:
Pertama, permintaan domestik kita memang gila-gilaan. Pasar rokok kretek Indonesia menyerap sekitar 75% dari konsumsi tembakau nasional.
Industri butuh pasokan stabil dan dalam jumlah besar yang kadang tidak bisa dipenuhi produksi dalam negeri saja.
Kedua, soal selera. Rokok kretek butuh campuran tembakau dengan karakteristik tertentu—rasa, aroma, tekstur.
Tidak semua jenis tembakau yang dibutuhkan itu tumbuh optimal di Indonesia. Jadi ya mau tidak mau, industri harus impor untuk mendapat “resep” yang pas.
Ketiga dan ini yang paling menyakitkan—produktivitas lahan kita rendah.
Rata-rata nasional cuma 1.124 kg per hektare. Bandingkan dengan Italia yang bisa mencapai 3.189 kg/ha. Hampir tiga kali lipat!
Dengan produktivitas segitu, ya wajar kalau produksi kita tidak cukup.
Tantangan ke Depan
Industri tembakau kita menghadapi banyak tantangan. Perubahan iklim yang bikin pola tanam kacau, regulasi kesehatan global yang makin ketat, belum lagi munculnya rokok elektrik yang mulai menggeser pasar konvensional.
Kuntoro Boga Andri dari Kementerian Pertanian punya ide menarik: jangan cuma fokus ke daun kering buat rokok.
Tembakau bisa diolah jadi produk lain seperti ekstraksi nikotin untuk terapi kesehatan, pestisida nabati, bahkan bio-oil dari batang tembakau yang selama ini cuma jadi limbah.
Tapi semua itu butuh roadmap jelas. Pemerintah, petani, dan pelaku industri harus duduk bareng bukan cuma seremonial, tapi betulan bikin strategi konkret.
Bagaimana meningkatkan produktivitas? Bagaimana diversifikasi produk? Bagaimana memastikan petani tetap sejahtera di tengah tekanan global?
Baca juga:
* Menyelamatkan Warisan Tembakau Jember
Kesimpulan yang Bikin Renungan
Posisi sebagai produsen tembakau keempat dunia memang prestasi. Tapi kalau masih harus impor ratusan ribu ton dari China, itu bukan kebanggaan itu alarm.
Kita punya 2,3 juta keluarga petani yang hidupnya bergantung pada tembakau. Kita punya lahan ratusan ribu hektare. Kita punya potensi besar.
Yang kurang adalah pengelolaan yang cerdas, inovasi yang nyata, dan kebijakan yang benar-benar memihak produktivitas dan kemandirian.
Tembakau bukan sekadar penerimaan negara. Ini soal kedaulatan ekonomi, soal kehidupan jutaan keluarga di pedesaan, soal apakah kita mau terus jadi pasar atau mulai jadi pemain yang disegani. Pilihan ada di tangan kita.
*Mahendra Utama, Pemerhati Pembangunan
#Tembakau #ProduksiTembakau #ImporTembakau #PetaniTembakau #IndustriHilir #SofwanDedy #MahendraUtama