Dari Lampung untuk Dunia: UBL Gagas Simposium Internasional SDGs demi Kota Berkelanjutan

Dari Lampung untuk Dunia UBL Gagas Simposium Internasional demi Kota Berkelanjutan
Rektor UBL, Prof. M. Yusuf S. Barusman, saat memberikan sambutan dalam Simposium Internasional SDGs ke-3, Rabu (30/4/2025), di Hotel Emersia, Bandarlampung. (Foto: Yopie Pangkey)

Di tengah denyut kota yang makin sesak, ruang hijau yang menyempit, jalan kaki yang terasa mustahil, angkutan umum yang nyaris tak terdengar, dan banyaknya warga Bandarlampung yang sakit regeneratif karena kurang gerak, Universitas Bandar Lampung (UBL) memilih untuk tidak tinggal diam.

Lewat Simposium Internasional SDGs ke-3, Rabu (30/4/2025), UBL mengajak dunia menoleh ke timur: ke kota kecil di ujung Sumatera, tempat semangat kolaborasi tumbuh untuk menjawab tantangan global.

Mengangkat tema “Urban Innovation & Collaborate for SDGs”, simposium ini menjadi panggung temu gagasan antara lokal dan global.

Diselenggarakan oleh SDGs Center UBL dan Pusat Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan, kegiatan ini menjadi bagian dari proyek internasional SDGs-SSTC Tahap II bersama GIZ Jerman, yang di Lampung dijalankan melalui program KEM11LAU.

Dalam forum ini, suara-suara perubahan tidak hanya datang dari luar negeri—seperti Shoko Ando (IGES Jepang), Frans Stel (PUM Belanda), dan Sarah Queblatin (Green Releaf Initiative Filipina), dan perwakilan Bappenas Gantjang Amanullah—tapi juga dari anak muda dan pemimpin lokal yang hidup dan tumbuh bersama tantangan kota.

Kota Tak Lagi Milik Pemerintah Saja

“Kita jalan kaki saja susah, buang sampah bingung di mana, dan banyak warga masih membakar sampah. Yang aneh tapi nyata, kita bahkan belum punya transportasi publik yang layak,” ungkap Prof. M. Yusuf S. Barusman, Rektor UBL, membuka diskusi dengan nada prihatin namun tegas.

Menurutnya, membangun kota tidak cukup dengan masterplan atau gedung-gedung tinggi. Kota adalah tentang kehidupan sehari-hari; tentang hak setiap warga untuk bergerak, sehat, dan merasa aman.

“Kita tidak bisa membangun kota sendirian. Harus semua pihak terlibat,” ujarnya.

“Kita lihat dari tema, multi stakeholder participation, ini adalah suatu pola yang penting yang kita jadikan model, bagaimana suatu perencanaan bisa dilakukan secara inklusif melibatkan semua pihak,” imbuhnya.

Namun, ia menekankan, tantangan terbesarnya justru ada pada tahap pelaksanaan agar tidak hanya berhenti di atas kertas.

“Yang paling penting adalah implementasi. Kita harapkan partisipasi publik yang lebih kuat untuk bisa mengawal implementasi,” tegasnya.

Suara Anak Muda dari Pesisir hingga Media Sosial

Salah satu suara muda yang hadir dalam forum ini adalah Cindy Dwi Islami, aktivis SDGs kelahiran Kotabumi, 1999. Bukan dari kampus luar negeri atau lembaga besar, Cindy memulai aksinya dari keresahan pribadi melihat kondisi lingkungan sekitar.

“Sebagai anak muda, saya memulainya dari rasa gelisah. Kita nggak bisa hanya diam. Harus ada inisiatif, baik di dunia nyata maupun lewat kampanye di media sosial,” kata Cindy.

Ia aktif mengedukasi sesama pemuda, termasuk lewat aksi nyata seperti rehabilitasi toilet komunal di kawasan pesisir Bandarlampung.

“Tidak ada batasan umur atau pengalaman untuk ikut kampanye SDGs. Pemuda harus jadi pelopor. Jangan batasi diri untuk terlibat dalam pembangunan daerah kita,” tegasnya kepada publikasilampung di sela-sela acara.

Dukungan Pemerintah: SDGs Bukan Agenda “di Atas Langit”

UBL Gagas Simposium Internasional demi Kota Berkelanjutan - Urban Innovation and Collaborate for SDGs
(Foto: Yopie Pangkey)

Simposium ini juga dihadiri Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah Provinsi Lampung, Sulpakar, yang mewakili Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal. Dalam sambutan tertulisnya, gubernur menyampaikan dukungan penuh terhadap forum ini.

“Atas nama Pemerintah Provinsi Lampung, saya menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh atas terselenggaranya kegiatan ini. Simposium internasional dan workshop ini menjadi ruang dialog yang sangat penting dalam membangun pemahaman bersama serta kolaborasi lintas sektor dan lintas negara,” ucapnya.

Menurut gubernur, Sustainable Development Goals (SDGs) adalah komitmen global dari 193 negara, termasuk Indonesia, untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan lestari. Salah satu tujuan kunci adalah menjadikan kota sebagai tempat yang inklusif, tangguh, dan layak huni.

“Dalam konteks global, seluruh pemangku kepentingan urban—baik pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat sipil, hingga komunitas akar rumput—memiliki peran vital membangun ekosistem kolaborasi. Melalui pendekatan multi-stakeholder seperti ini, berbagai inovasi bisa lahir: dari teknologi hijau hingga sistem transportasi berkelanjutan,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa tema simposium ini sejalan dengan visi strategis Lampung: Bersama Lampung Maju Menuju Indonesia Emas.

“Kami terbuka terhadap kerja sama internasional dan pertukaran pengetahuan. Karena inovasi itu ibarat api unggun—makin banyak kayunya, makin besar nyalanya. Kolaborasi lintas batas sangat penting agar inovasi yang lahir bisa berdampak global,” ujar Sulpakar membacakan sambutan.

Dari Akademisi ke Akar Rumput

Selain paparan akademik dan praktik terbaik internasional, simposium ini juga menggelar Lokakarya Kemitraan Multi-Pihak (Multi-Stakeholder Partnership Workshop), mempertemukan unsur heptahelix—pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, media, NGO, dan generasi muda.

Tujuannya: membangun pemahaman bersama soal peran masing-masing pihak dalam mendorong kota yang inklusif dan berdaya tahan.

“Teknologi tidak akan bermakna tanpa keberpihakan kepada rakyat,” tambah Sulpakar.

Baca juga:
* Kesatuan Pengelolaan Hutan: Kunci Strategis Kurangi Emisi Sektor Kehutanan

Lampung Berkilau dari Dalam

Simposium—bagian dari KEM11LAU Project (Kemitraan Multi-Pihak untuk Inovasi SDGs 11 di Provinsi Lampung)—ini bukan sekadar forum ilmiah, melainkan simbol pergeseran paradigma: bahwa pembangunan kota tidak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah.

Dari rektor hingga mahasiswa, dari ahli luar negeri hingga aktivis lokal, semua punya peran dan tanggung jawab yang sama.

Dan dari kota kecil bernama Bandarlampung, sebuah sinyal dikirim ke dunia: bahwa masa depan kota berkelanjutan dimulai dari keberanian untuk melihat, mendengar, dan bekerja sama—apa pun latar belakang kita.

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *