Nelayan Kampung Cabang: Bertaruh Hidup dari Arus Sungai Way Seputih

Nelayan Kampung Cabang Kecamatan Bandar Surabaya Lampung Tengah - Bertaruh Hidup dari Arus Sungai Way Seputih - Yopie Pangkey
Agus Silaludin di atas klotoknya (perahu) dengan latar belakang sungai Way Seputih yang lebar. (Foto: Yopie Pangkey)

Kampung Cabang, yang terletak di Kecamatan Bandar Surabaya, Kabupaten Lampung Tengah, memiliki panorama khas pedesaan yang dikelilingi keindahan alam. Kampung ini berada di pertemuan antara Sungai Way Pegadungan dan Sungai Way Seputih, dengan kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) membentang di seberang sungai.

Dari Kampung Cabang hingga kuala Way Seputih, sisi kanan sungai merupakan kawasan TNWK yang kaya keanekaragaman hayati.

Read More

Di permukaan, Sungai Way Seputih tampak tenang, seolah mengalir lambat tanpa hambatan. Namun, arusnya cukup deras, mencerminkan perjuangan hidup yang harus dilalui masyarakat setempat, terutama nelayan sungai.

Salah satu sosok nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sungai ini adalah Agus Silaludin, pria kelahiran 1970 yang telah tinggal di Kampung Cabang sejak 1999. Hidup Agus adalah cerminan bagaimana alam dan manusia berinteraksi dalam keseimbangan yang rapuh.

Perjalanan Panjang Menjadi Nelayan Sungai

Foto Nelayan Kampung Cabang Kecamatan Bandar Surabaya Lampung Tengah di Sungai Way Seputih - Yopie Pangkey
Nelayan Kampung Cabang di Sungai Way Seputih yang luas. (Foto: Yopie Pangkey)

Agus tidak langsung menjadi nelayan sungai. Awalnya, ia bekerja di kapal nelayan sondong teri sebelum bergabung dengan usaha tambak udang milik pengusaha perorangan. Namun, kehidupan terus membawa Agus ke arah yang berbeda.

“Sejak 2006, saya jadi nelayan sungai. Sebelumnya, saya juga pernah jadi nelayan laut dengan mendirikan bagan tancap. Sayangnya, bagan itu roboh karena faktor iklim,” ia mengisahkan kepada publikasilampung.id, Sabtu (25/1/2025).

“Setelah itu, karena tidak ada modal lagi, saya hanya mengandalkan penghidupan dari sungai,” tutur Agus.

Kini, Agus menggunakan rumpon sebagai alat utama menangkap udang di tepian sungai. Rumpon, yang terdiri dari kayu yang ditumpuk menyerupai bentuk bulat dan dilengkapi dengan waring, menjadi andalan para nelayan seperti dirinya.

“Kalau lagi bagus, saya bisa dapat 20 sampai 25 kilogram udang. Tapi, itu jarang. Kadang, cuma dapat setengah kilo atau bahkan tidak dapat sama sekali. Rata-rata sih 5 sampai 6 kilogram,” katanya.

Harga Udang dan Hasil Tambahan

Foto Nelayan Kampung Cabang Bandar Surabaya Lampung Tengah dengan hasil Udang Sungai Way Seputih - Yopie Pangkey
Agus Silaludin dengan udang Sungai Way Seputih hasil tangkapannya. (Foto: Yopie Pangkey)

Udang yang didapat Agus dijual dengan harga bervariasi, tergantung ukuran.

“Yang kecil dihargai Rp40 ribu, ukuran sedang Rp70 ribu, dan yang besar bisa sampai Rp120 ribu per kilogram,” jelas Agus.

Selain udang, ia juga kerap mendapatkan ikan lain seperti kakap, betutu, baung, sembilang, hingga kiper. Bahkan, saat musim air asin, kepiting bakau juga sering tertangkap. Namun, hasil tangkapan ini tidak selalu stabil.

“Kalau rumponnya banyak, saya bisa panen setiap hari. Tapi, sekarang saya hanya bisa kerja paling banyak 4 sampai 5 hari dalam seminggu,” ujarnya.

Tantangan dari Limbah dan Alat Tangkap Ilegal

Kendala terbesar yang dihadapi Agus dan para nelayan sungai lainnya adalah limbah buangan pabrik dari arah hulu sungai. Limbah tersebut tidak hanya mencemari air, tetapi juga membunuh ikan di tambak dan keramba.

“Pernah ikan di tambak habis mati semua di era tahun 90an. Kami sampai melakukan demonstrasi meminta bantuan kepada bupati dan DPRD,” kata Agus dengan nada prihatin.

Selain limbah, penggunaan alat tangkap ilegal seperti setrum juga menjadi ancaman besar bagi ekosistem sungai.

“Kalau tidak ada limbah dan nelayan setrum, harusnya tidak ada masalah bagi kami,” tambahnya.

Nelayan Kampung Cabang Menggantungkan Hidup dari Sungai

Bagi Agus, penghidupan dari sungai adalah sumber utama untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bersama istrinya yang lahir pada 1978, Agus membesarkan tiga anak.

Anak tertua, yang lahir pada 2003, kini sudah lulus dari SMK dan membantu Agus menjadi nelayan. Anak kedua sedang duduk di bangku SMP, sementara anak bungsu masih bersekolah di SD.

“Kami bergantung penuh pada hasil sungai. Kadang ada rezeki bagus, dapat hasil banyak. Tapi, ya, namanya nelayan, kadang juga tidak dapat sama sekali,” katanya dengan senyum tipis.

Harapan pada Keseimbangan Alam

Kisah Agus Silaludin mewakili kehidupan para nelayan sungai di Kampung Cabang. Mata pencaharian mereka sangat bergantung pada keseimbangan alam.

Ketika ekosistem sungai terjaga, hasil tangkapan pun bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, jika keseimbangan itu terganggu oleh limbah atau praktik ilegal, dampaknya akan sangat terasa pada kehidupan masyarakat.

Baca juga:
* Warga Margasari Belajar Jurnalisme Warga, Angkat Potensi Kelautan dan Perikanan Lokal

Sungai Way Seputih, dengan arusnya yang deras dan permukaannya yang tenang, menyimpan harapan dan tantangan bagi nelayan seperti Agus. Mereka terus bertahan dan berjuang, meski tantangan tidak pernah surut.

Bagi Agus dan nelayan lainnya, sungai bukan sekadar aliran air, melainkan sumber kehidupan yang harus terus dijaga dan dilestarikan.

“Kami berharap semua pihak lebih peduli dengan kelestarian sungai ini. Kalau sungai tetap bersih dan ekosistemnya terjaga, kami bisa terus hidup dari hasilnya,” Agus mengimbau.

“Ini bukan hanya soal mencari nafkah, tapi juga soal bagaimana kita semua bisa menjaga pangan untuk masa depan,” tutupnya.

---

Cek Berita dan Artikel Lainnya di Google News

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *